Daftar Isi
Jakarta, CNN Indonesia —
Gempa bumi kuat seolah tak berhenti melanda Jepang, termasuk hari ini yang memicu peringatan tsunami. Pakar mengungkap itu terkait posisi Negeri Matahari Terbit yang ada di atas lempeng tektonik ‘rapuh’. Dan itu memicu reputasi globalnya.
Menurut keterangan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono, gempa dengan Magnitudo 7,1 mengguncang Jepang, hari ini, Kamis (8/8) pukul 14.42.58 WIB.
Pusat gempanya ada pada kedalaman 39 km di laut.
Gempa ini berdampak dirasakan paling kuat di Prefektur Miyazaki dengan skala intensitas mencapai VI-VII MMI dan berpotensi menimbulkan kerusakan. Media lokal juga melaporkan sejumlah pantai di Jepang kena gelombang tsunami di bawah setengah meter.
Sebelum bencana ini, Jepang juga rutin masuk berita utama internasional akibat gempa bumi, di antaranya gempa awal tahun 2024 dengan M 7,4 yang merusak banyak kota dan menewaskan puluhan orang.
Tak lupa, ada gempa dengan M 9 pada Maret 2011, yang memicu tsunami dan bencana nuklir di reaktor Fukushima.
Saking seringnya gempa, negara ini jadi pionir studi tentang tsunami, yang juga diambil dari bahasa Jepang yang berarti pelabuhan dan gelombang.
Lalu, kenapa Jepang sangat rentan terhadap gempa bumi?
Mosaik lempeng tektonik
Gempa bumi terjadi ketika dua lempeng tektonik saling bertabrakan dan salah satu lempeng bergeser di bawah lempeng lainnya, untuk kemudian melepaskan ledakan energi secara tiba-tiba.
Jepang terletak di atas empat lempeng tektonik utama, menjadikannya salah satu tempat di dunia yang paling mungkin mengalami aktivitas tektonik.
“Semakin banyak lempeng yang Anda punya dan, yang lebih penting, semakin banyak batas lempeng yang berdekatan atau melintasi negara seperti Jepang, semakin banyak interaksi lempeng-lempeng tersebut yang menyebabkan gempa terjadi,” kata Robert Butler, profesor geofisika di Universitas Portland dan Universitas Arizona, melansir Washington Post.
“Jadi semakin banyak batas lempeng berarti semakin banyak gempa bumi,” imbuh dia.
Cincin api
Saeko Kita, seismolog di Institut Internasional Seismologi dan Teknik Gempa Bumi di Ibaraki, Jepang, mengungkap Jepang dan daerah sekitarnya menyumbang 18 persen gempa di dunia karena tektonik aktif.
Setiap tahun, Jepang mengalami sekitar 1.500 gempa yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Beberapa jenis aktivitas seismik tercatat terjadi sekitar 5 menit sekali.
Bukan hal yang aneh jika ada begitu banyak aktivitas gempa bumi di sepanjang zona berbentuk tapal kuda, yang sering disebut sebagai ‘Cincin Api’ (Ring of Fire), di sepanjang tepi Samudra Pasifik.
Di lokasi ini, lebih dari 400 gunung berapi aktif. Zona ini membentang dari pantai timur Australia hingga Rusia timur, dan menyusuri pantai barat Amerika Utara serta sepanjang pantai barat Chile.
Ini adalah wilayah yang aktif secara geologis, tempat gempa bumi, tsunami, dan gunung berapi biasa terjadi. Survei Geologi AS (USGS) dan Pusat Informasi Tsunami Internasional (ITIC) menyebut sekitar 80 persen gempa bumi dan tsunami terbesar di dunia terjadi di wilayah ini.
Bukan cuma Jepang
Lucy Jones, seismolog senior di USGS, mengungkap Taiwan dan Filipina juga terletak di atas tiga lempeng tektonik utama dan memang rentan terhadap aktivitas gempa.
Meski Jepang adalah negara yang lebih besar dan lebih padat penduduknya daripada Taiwan dan Filipina, perhatian yang lebih besar telah diberikan kepada Jepang.
Pasalnya, ada persepsi bahwa lebih banyak orang yang terkena dampak gempa bumi di wilayah ini.
Sejarah panjang pencatatan dan studi Jepang terhadap dampak gempa bumi dan tsunami, dikombinasikan dengan persiapan bencana yang ekstensif, memicu persepsi itu.
“Kenyataannya adalah bahwa Filipina dan Taiwan mengalami [gempa bumi] sebanyak Jepang, tetapi saya pikir sebagian dari persepsi itu adalah karena Jepang telah mengembangkan teknologi untuk mengatasinya,” kata Jones.
Mitigasi bencana Jepang
Jepang mengukur gempa bumi berdasarkan seberapa besar tanah berguncang, bukan berdasarkan Magnitudo-nya. Gempa pada 1 Januari diukur pada skala intensitas 7 Jepang, yang merupakan skala tertinggi.
Bandingkan dengan seabad yang lalu. Yakni, ketika gempa besar Kanto, yang tercatat setara dengan 7 atau lebih dari 6 pada skala modern, menghantam Tokyo. Lebih dari 105.000 orang tewas atau hilang dan sekitar 80 ribu rumah hancur.
Gempa tersebut memicu penetapan kode bangunan modern yang menyertakan risiko gempa bumi.
Setiap kali terjadi gempa bumi besar, Jepang meninjau kerusakan dan memperbarui kode bangunannya. Pembaruan besar terakhir pada 1981 dengan memperkenalkan standar baru untuk bangunan tahan gempa setelah gempa bumi besar pada 1978.
Setelah gempa bumi Kobe 1995, pemerintah Jepang juga membuat perubahan pada respons bencana yang memungkinkannya mengumpulkan informasi dalam waktu 5 menit setelah gempa bumi.
Ini memungkinkan pengerahan personel bantuan bencana dengan cepat.
[Gambas:Video CNN]
(tim/arh)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA