Jakarta, CNN Indonesia —
Pakar mengungkap suhu Bumi yang terus meningkat dan kian panas bakal berdampak pada kekacauan pola fenomena iklim yang memicu kekeringan dan hujan deras, yakni El Nino dan La Nina. Artinya, cuaca ekstrem makin ngeri.
Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa sebelumnya menyebut bahwa bulan Maret lalu merupakan bulan terpanas secara global selama 10 bulan terakhir.
Maret 2024 juga tercatat lebih panas 1,68 derajat Celsius dibanding rata-rata Maret pada periode 1850-1900, yang merupakan periode referensi untuk era pra-industri.
Hal ini menjadikannya bukan hanya sebagai sepuluh bulan yang memecahkan rekor panas, tetapi juga menjadi periode 12 bulan terpanas dalam sejarah jika dibanding masa pra-industri.
Padahal sebelumnya panel antarpemerintah tentang iklim (IPCC) PBB menyebutkan bahwa Bumi baru akan mengalami kenaikan suhu di atas 1,5 derajat C pada awal tahun 2030-an.
“Pada tahun 2023 suhu bumi sudah 1,5 [derajat C] yang artinya sudah sepuluh tahun lebih cepat dari yang diproyeksikan para ilmuwan melalui model iklimnya,” kata pakar klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin dalam webinar bersama ITB pada Minggu (9/6).
“Kenaikan 1,5 [derajat Celsius] ini punya dampak dong, salah satunya dengan cuaca ekstrem yang meningkat satu setengah kali lipat, makanya disebut emergency,” lanjut dia.
Atas peningkatan suhu global tersebut, Erma menyebutkan beberapa dampak yang terjadi pada perubahan iklim dan fenomena cuaca saat ini.
Pertama, fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole(IOD) yang seharusnya berjalan linier dalam rentang waktu 2-5 tahun menjadi non linier dengan meregulasi dirinya sendiri.
Ini menyebabkan ENSO dan IOD semakin sulit diprediksi waktunya, dan bahkan bisa terjadi satu tahun sekali.
Kedua, La Nina akan terjadi lebih sering terjadi dibanding El Nino, namun intensitas peristiwa El Nino menjadi lebih kuat dibandingkan La Nina.
Terakhir, pergeseran puncak IOD yang biasa terjadi pada September-Oktober-November (SON) berpeluang menjadi Juni-Juli-Agustus (JJA).
“Bahkan intensitas yang seharusnya terjadi di bulan-bulan tertentu itu sudah bergeser juga, yang biasanya September, Oktober November kalau ada IOD, dia maksimumnya ada disana juga ada pergeseran,” jelas Erma.
Tidak hanya itu, Erma menyebut ada dampak lainnya dari peningkatan suhu global, yakni berupa perubahan durasi dan sifat musim di wilayah Indonesia yang berbeda setiap regionalnya.
Pertama, terjadi perubahan klimatologis di Indonesia ketika musim hujan lebih panjang, namun hari-hari kering meningkat di wilayah monsunal Indonesia seperti Jawa, Bali, NTB, NTT, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Kedua, durasi musim hujan menjadi lebih panjang untuk wilayah I (+49 hari) dan wilayah II (+12 hari).
Ketiga, hari-hari kering mengalami peningkatan selama musim hujan untuk semua wilayah I, II, III.
Keempat, selama musim kemarau, hujan ekstrem akan semakin sering terjadi di wilayah III.
“Jadi kita jangan menganggap musim hujan itu Desember-Januari-Februari lagi, karena ada perubahan dan ada kondisi yang lebih panjang yang setiap region berbeda,” pungkasnya.
[Gambas:Video CNN]
(rni/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA