Jakarta, CNN Indonesia —
Data terbaru Copernicus Climate Change Services (C3S) menunjukkan suhu rata-rata Dunia selama satu tahun terakhir, meningkat 1,5 derajat Celsius lebih tinggi dari era pra-industri.
Copernicus mengatakan hasil penelitian terbaru juga menunjukkan saat ini sedang terjadi “perubahan iklim yang hebat dan berkelanjutan”.
Data terbaru menunukkan suhu antara Juli 2023 dan Juni 2024 merupakan yang tertinggi dalam catatan. Hal ini menciptakan peregangan sepanjang tahun ketika Bumi lebih panas 1,64 derajat Celsius dibandingkan pada masa pra-industri.
Temuan ini bukan berarti para pemimpin dunia telah gagal memenuhi janji mereka untuk menghentikan kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat Celsius pada akhir abad ini, namun panas terik ini membuat lebih banyak orang terkena dampaknya. Kenaikan suhu yang berkelanjutan di atas tingkat ini juga meningkatkan sejumlah risiko yang tidak pasti namun dapat menimbulkan bencana.
Carlo Buontempo, direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus, yang menganalisis data tersebut, mengatakan hasil tersebut bukan sebuah kejanggalan, melainkan sebuah “pergeseran besar dan berkelanjutan” dalam iklim.
“Bahkan jika kejadian ekstrem ini berakhir suatu saat nanti, kita pasti akan melihat rekor-rekor baru dipecahkan seiring dengan terus memanasnya iklim,” kata Carlo, mengutip The Guardian, Senin (8/7).
“Hal ini tidak bisa dihindari kecuali kita berhenti menambahkan gas rumah kaca ke atmosfer dan lautan,” lanjut dia.
Copernicus menggunakan miliaran pengukuran dari satelit, kapal, pesawat terbang, dan stasiun cuaca untuk mengumpulkan data mengenai iklim.
Hasil penelitian mereka mengungkap Juni 2024 lebih panas dibandingkan bulan Juni lainnya yang pernah tercatat dan merupakan bulan ke-12 berturut-turut dengan suhu 1,5 derajat Celsius lebih tinggi dari rata-rata antara tahun 1850 dan 1900.
Para ilmuwan percaya setiap molekul karbon yang menyumbat atmosfer Bumi memerangkap panas dan mengubah cuaca. Bumi yang kian memanas ini akan membuat semakin sedikit manusia dan ekosistem yang mampu beradaptasi.
“Ini sama sekali bukan kabar baik,” kata Aditi Mukherji, direktur lembaga penelitian CGIAR dan salah satu penulis laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).
“Kita tahu bahwa kejadian ekstrem meningkat seiring dengan peningkatan pemanasan global – dan pada suhu 1,5 derajat Celsius, kita menyaksikan beberapa suhu ekstrem terpanas tahun ini.”
Beberapa ekosistem bahkan lebih rentan dibandingkan lainnya. Dalam penelitian terbarunya, IPCC menemukan pemanasan 1,5 derajat Celsius akan membunuh 70-90 persen terumbu karang tropis, sementara pemanasan 2 derajat Celsius akan memusnahkan hampir seluruh terumbu karang.
Survei Guardian terhadap ratusan peneliti IPCC tahun ini juga mengungkap, tiga perempat dari mereka memprediksi suhu Bumi akan memanas setidaknya 2,5 derajat Celsius pada tahun 2100, dan sekitar separuh ilmuwan memperkirakan suhu di atas 3 derajat Celsius.
Peningkatan suhu ini mungkin secara kasat mata terlihat kecil, tapi bisa sangat berdampak pada kehidupan.
Mukherji kemudian membandingkan kenaikan 1 derajat Celsius pemanasan global dengan tubuh manusia yang mengalami demam. Menurutnya, kenaikan suhu 1 derajat saja bisa membuat manusia mengalami demam ringan, dan 1,5 derajat membuat manusia mengalami demam tinggi.
“Sekarang bayangkan tubuh manusia dengan suhu [itu] selama bertahun-tahun. Akankah orang itu berfungsi normal lagi?” tanya Mukherji.
“Saat ini, begitulah sistem Bumi kita. Ini adalah sebuah krisis,” tambahnya.
François Gemenne, penulis IPCC dan direktur Observatorium Hugo di Universitas Liège, mengatakan krisis iklim bukan masalah biner.
“Ini bukan tentang 1,5C atau kematian – setiap 0,1C sangat berarti karena kita berbicara tentang suhu rata-rata global, yang berarti kesenjangan suhu yang sangat besar secara lokal,” jelas dia.
Bahkan dalam skenario terbaik, katanya, masyarakat perlu bersiap menghadapi dunia yang lebih hangat dan “memperkuat” rencana respons. “Adaptasi bukanlah sebuah pengakuan bahwa upaya kita saat ini tidak ada gunanya.”
(tim/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA