Jakarta, CNN Indonesia —
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap sejumlah faktor yang ikut ‘cawe-cawe’ membuat hujan turun dengan intensitas tinggi di sejumlah wilayah Indonesia, meski sudah masuk musim kemarau. Simak penjelasannya.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan iklim di Indonesia utamanya dipengaruhi oleh monsoon atau angin dari dua benua, yakni benua Asia dan Australia, secara bergantian.
“Namun, karena berada di dua samudera, maka yang ‘cawe-cawe’ dalam mempengaruhi musim di Indonesia, itu tidak sedikit, terutama bersumber dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia,” kata Dwikorita dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Senin (8/7).
Dwikorita mengungkap salah satu yang ikut ‘cawe-cawe’ membuat Indonesia basah selama awal Juli adalah fenomena La Nina yang dipengaruhi oleh suhu muka laut yang berada di Samudera Pasifik.
Menurut dia La Nina juga sempat mengakibatkan meningkatnya curah hujan selama musim kemarau di Indonesia pada periode 2020 hingga 2022. Selain itu, kehadiran La Nina berpotensi membuat cuaca ekstrem di sepanjang musim kemarau.
“Musim kemarau di tahun 2020-2022 adalah kemarau basah, karena ada peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia akibat fenomena La Nina,” paparnya.
Selain La Nina, faktor lain yang ikut ‘cawe-cawe’ dalam memengaruhi musim di Indonesia adalah lawan dari La Nina, El Nino, yang membuat musim kemarau menjadi lebih kering. Fenomena ini membuat musim kemarau di Indonesia menjadi lebih kering pada tahun lalu.
“Dan La Nina-El Nino ini kejadiannya, atau IOD (Indian Ocean Dipole) itu kejadiannya dalam beberapa bulan, sehingga kadang-kadang mengganggu musim yang terjadi saat itu,” jelas dia.
Sebelumnya, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan meski statusnya adalah musim kemarau bukan berarti tidak akan turun hujan. Hanya saja, intensitas curah hujan di bawah 50 mm/dasarian.
“Betul sebagian besar wilayah Indonesia terjadi di bulan Juli dan Agustus 2024 yaitu sebanyak 77,27 persen, di mana 63,95 persen durasi musim kemarau diprediksi terjadi selama 3 hingga 15 dasarian,” kata Guswanto, melansir laman BMKG, Senin (8/7).
“Meski demikian bukan berarti dalam periode kemarau tidak ada hujan sama sekali, tetapi ada hujan meski kisaran di bawah 50 mm/dasariannya,” lanjut dia.
Dalam sepekan ke depan, BMKG memprediksi masih terdapat potensi peningkatan curah hujan secara signifikan di sejumlah wilayah Indonesia.
Menurut BMKG fenomena ini disebabkan oleh dinamika atmosfer skala regional – global yang cukup signifikan. Di antaranya, aktivitas fenomena Madden Julian Oscillation (MJO), Gelombang Kelvin dan Rossby Equatorial di sebagian besar wilayah Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Sebagian besar Papua.
Selain itu, suhu muka laut yang hangat pada perairan wilayah sekitar Indonesia memberikan kontribusi dalam menyediakan kondisi yang mendukung pertumbuhan awan hujan signifikan di wilayah Indonesia.
(tim/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA