Daftar Isi
Jakarta, CNN Indonesia —
Curah hujan tinggi hingga banjir di kawasan utara khatulistiwa dipicu oleh sejumlah gelombang ekuator yang masih aktif, berbeda dengan wilayah selatan ekuator yang lebih kering imbas musim kemarau.
Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkap seminggu terakhir ada 21 kejadian bencana; 15 bencana banjir, tiga kejadian cuaca ekstrem, dua kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan satu kekeringan di kabupaten/kota.
“Bencana hidrometeorologi basah sangat mendominasi. Ini enggak berubah dari awal tahun. Dua minggu lalu sempat berubah, karhutla mulai cukup signifikan tapi tidak terlalu mendominasi,” tuturnya, dalam konferensi pers daring, Senin (1/7).
Abdul menyebut curah hujan tinggi dan banjir mendominasi Indonesia bagian tengah hingga timur.
“Khususnya berada di sebelah utara khatulistiwa, belahan Bumi utara. Belahan Bumi selatan agak kering; Jawa, Bali, sampai Nusa Tenggara,” urai dia.
Sebagai acuan, garis khatulistiwa atau garis lintang 0 derajat salah satunya melalui Kota Pontianak, Kalbar. Garis ini membagi Indonesia hampir sama besar antara selatan dan utara.
BNPB pun mengungkap contoh-contoh bencana banjir pada periode sepekan terakhir di wilayah utara khatulistiwa.
Pertama, banjir di Bolaang Mongondow Utara (Sulawesi Utara), pada Rabu (26/6), yang membuat 713 warga terdampak, 149 rumah rusak, 295 rumah terendam. Di lokasi yang sama keesokan harinya, banjir kembali merendam dengan 66 orang terdampak, dan 16 rumah terendam.
Kedua, banjir Bolemo (Gorontalo), pada Rabu (26/6), yang berdampak pada 640 orang, dan membuat 162 rumah terendam.
Ketiga, banjir di Pulau Morotai (Maluku Utara), pada Rabu (26/6), yang berdampak pada 1.151 orang, dan membuat 244 rumah terendam.
Keempat, banjir di Kabupaten Gorontalo, di hari yang sama, yang membuat 3.239 orang terendam, 90 mengungsi, dan 727 rumah terendam.
Abdul menyatakan curah hujan tinggi ini dipicu oleh sejumlah fenomena atmosfer. Itu termasuk gelombang ekuator Rossby dan Madden Julian Osciliation (MJO) yang bergerak dari sebelah timur Afrika, menjalar ke Samudra Hindia, hingga ke Indonesia.
“Gelombang-gelombang ekuatorial ini yang membuat intensitas hujan jadi lebih tinggi. Tapi balik lagi, kita ini di khatulistiwa, sekemarau-kemaraunya masih ada hujan, dan sehujan-hujannya masih ada kemarau,” cetus dia.
Ia juga menyinggung soal prediksi kemunculan La Nina. Menurutnya, La Nina pada Juli ini akan berdampak di sejumlah wilayah berikut.
Yakni, Sumut, Kalbar, Kaltara, Kalsel, Sulsel, Sulteng, Sulut, Malut, Maluku, Papua Barat Daya, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan.
Benarkah sudah ada efek La Nina?
Menurut Ikhtisar Cuaca 1–3 Juli dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), El Nino Southern Oscillation (ENSO), yang mencakup angka La Nina dan El Nino, dalam kondisi netral.
“Hasil analisis kondisi iklim global menunjukkan kondisi ENSO Netral dengan nilai NINO 3.4 sebesar +0.42 dan nilai SOI -4.9,” kata keterangan lembaga.
La Nina, yang memicu curah hujan lebih tinggi di Indonesia, ditandai dengan suhu di bawah minus 0,5 derajat Celsius di kawasan tropis Samudra Pasifik. Sementara El Nino, yang memicu kekeringan, punya angka di atas 0,5 derajat C di wilayah yang sama.
Selain itu, fenomena serupa ENSO di Samudra Hindia, Indian Ocean Dipole (IOD), tidak berpengaruh terhadap kondisi hujan di Indonesia. Itu terlihat dari nilai Dipole Mode Index (DMI) sebesar -0.09.
Kapan La Nina terbentuk?
Berdasarkan prakiraan Climate Prediction Center (CPC) dari Lembaga Kelautan dan Atmosfer AS (NOAA), La Nina punya peluang kemunculan 65 persen pada periode Juli hingga September 2024.
Peluangnya meningkat jadi 85 persen pada periode NOvember 2024 hingga Januari 2025.
Sementara, prakiraan dari International Research Institute for Climate and Society (IRI) menunjukkan La Nina punya peluang 50 persen muncul pada Agustus-Oktober 2024.
Pada periode berikutnya, probabilitas La Nina tak jauh-jauh amat, antara 51 persen hingga 58 persen. ENSO-netral diprediksi kembali terjadi pada Februari-April 2025.
Apa pemicu banjir utara khatulistiwa?
BMKG mengungkap beberapa gelombang ekuator dan fenomena atmosfer lainnya yang tengah aktif memicu hujan.
Pertama, Gelombang Rossby Ekuator yang berpropagasi atau merambat ke arah barat. Ini terpantau aktif di Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah bagian utara, Selat Makasar bagian utara, Laut Sulawesi bagian barat, Laut Fores, Maluku, Laut Banda, Laut Arafura, dan Papua bagian selatan.
Kedua, gelombang dengan Low Frequency yang cenderung persisten terpantau aktif di wilayah Kalimantan Timur, Selat Makassar bagian tengah dan utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Laut Maluku, Maluku Utara, Laut Halmahera, Papua Barat, Papua bagian utara, dan Samudra Pasifik utara Papua Barat hingga Papua.
Keempat, kombinasi gelombang MJO, Low Frequency, gelombang Rossby Ekuator, dan gelombang Kelvin di Selat Makasar bagian utara, Sulawesi Tengah bagian utara, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafuru, dan Papua bagian selatan.
Kelima, Suhu Muka Laut (Sea Surface Temperature/SST) dengan anomali +0,5 derajat C sampai +3,2 derajat C. Hal ini disebut dapat meningkatkan potensi penguapan (penambahan massa uap air).
Wilayahnya ada di Perairan utara Aceh, Samudera Hindia barat Sumatera, Selat Malaka, Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Sunda, Samudera Hindia selatan Banten – Jawa Timur, Laut Baali, Laut Flores, Teluk Bone, Teluk Cendrawasih, dan Samudra Pasifik utara Papua.
Keenam, sirkulasi siklonik yang terpantau di Samudra Hindia Bara Sumatra Barat, di Laut Sulu, di Laut Seram, dan di Samudra Pasifik Utara Papua Barat.
Sirkulasi-sirkulasi tersebut membentuk daerah perlambatan kecepatan angin (konvergensi) dan daerah pertemuan angin (konfluensi) di beberapa tempat, terutama kawasan utara.
“Kondisi tersebut mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sepanjang daerah sirkulasi siklonik/konvergensi/konfluensi tersebut,” kata BMKG.
Kenapa selatan khatulistiwa lebih kering?
Pada Maret, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan kedatangan musim di Indonesia dipengaruhi oleh angin.
Musim kemarau berkaitan dengan kedatangan angin timuran atau angin Monsun Australia dari Benua Australia. Walhasil, yang paling dulu kena kekeringan pun adalah wilayah selatan RI.
“Diawali di wilayah yang paling dekat Australia lebih dahulu, karena musim kemarau itu diakibatkan oleh angin monsun Australia yang bertiup dari arah Australia atau angin timuran,” ujar dia.
“Jadi akan mulai paling dekat dulu dari sumber angin itu bertiup, lalu bergerak semakin ke arah utara, barat dan timur,” imbuh Dwikorita.
Sementara, musim hujan ditandai dengan kedatangan angin Monsun Asia atau angin baratan yang datang dari Benua Asia dan sekitar Pasifik yang membawa uap air.
Sehingga, yang lebih dulu ‘basah’ adalah kawasan dekat Benua Asia.
[Gambas:Video CNN]
(tim/arh)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA