Jakarta, CNN Indonesia —
Gelombang atmosfer serta sistem konveksi skala meso (MCS) disebut jadi dalang utama rajinnya hujan di tengah puncak musim kemarau di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara pada 2021.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan mengungkap berbagai metode dilakukan untuk mengungkap kejadian hujan lebat di IKN tersebut.
“Melalui cara low frekuensi variability El Nino dan La Nina ini enggak bisa diungkap, lalu dengan Madden-Julian Oscillation (MJO) bisa diungkap tapi tidak jelas akhirnya kami mencoba menggunakan Gelombang Atmosfer sebagai pilihan terakhir,” jelas dia, dalam webinar, Kamis (11/7), dikutip dari situs BRIN.
Hal itu ia ungkap terkait penelitian berjudul ‘Moisture Origin and Transport for Extreme Precipitation over Indonesia’s New Capital City, Nusantara in August 2021’ hasil kolaborasi berbagai peneliti, termasuk dari BRIN.
Pada 27-28 Agustus 2021, IKN Nusantara sempat mengalami curah hujan ekstrem yang jarang terjadi karena berlangsung di bulan terkering sepanjang tahun berdasarkan data klimatologi bulanan, hingga menyebabkan banjir besar serta tanah longsor.
Eddy melanjutkan tidak mudah untuk mengungkap tabir penyebab terjadinya curah hujan lebat pada satu kawasan yang sangat terlokalisasi dan tidak memiliki data observasi in situ (di lokasi) langsung.
Pemantauan perilaku gelombang atmosfer pun, katanya, masih belum bisa menyampaikan secara jelas penyebab kejadiannya, bahkan dengan pendekatan Weather Research and Forecasting (WRF), yaitu model cuaca buat prediksi atmosfer skala meso.
Dengan berbagai skema konveksi, Eddy menyebut kejadian tersebut tidak terungkap secara jelas karena kejadiannya bukan ekstrem, tapi lebat biasa.
Pihaknya baru bisa menjelaskan fenomena hujan IKN di puncak kemarau 2021 itu lewat teknik pengamatan angin dan kelembapan.
“Masalah ini baru sedikit demi sedikit terungkap setelah parameter Vertically Integrated Moisture Flux Convergence (VIMFC) jam-jaman di filter menjadi berbagai jenis gelombang atmosfer, sehingga dihasilkan gelombang Equatorial Rossby, Kelvin, dan Mix Rossby Gravity waves,” urai Eddy.
Gelombang tersebut kemudian dibuatkan nilai kuantitatifnya serta dibuatkan evolusinya. Walhasil, terlihat jelas pengaruh sistem konveksi skala meso.
“Apakah evolusi dari masing-masing gelombang tadi itu mengikuti atau tidak daripada evolusi Mesoscale Convective? Hujan lebat itu diduga karena adanya pengaruh Mesoscale Convective System (MCS),” ungkapnya.
Mengutip buku Mesoscale Dynamics karya Yuh-Lang Lin dari North Carolina State University, MCS merupakan sekelompok badai petir terorganisasi yang berlangsung setidaknya selama beberapa jam dan menghasilkan area curah hujan yang terus-menerus.
MCS bisa berbentuk linier atau melingkar. Skala meso mengacu pada ukuran badai kelas menengah, 10 hingga 1.000 km.
Lebih lanjut, Eddy menilai MCS ternyata diikuti dengan evolusi gelombang atmosfer, namun gelombang-gelombang itulah yang dominan berperan.
“Hal ini didukung dengan penerapan metode HYSPLIT Trajectory Model,” imbuh dia, yang merupakan Profesor bidang Sains Atmosfer itu.
Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) Trajectory Model ini biasanya digunakan untuk mesimulasikan dan menghitung penyebaran sebaran massa udara di atmosfer dari level lokal ke global.
IKN belakangan juga sempat dilanda banjir meski tak menyentuh kawasan intinya.
Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sempat diguyur hujan deras yang kemudian memicu banjir yang signifikan, Senin (24/6).
Hujan memicu air sungai atau drainase meluap hingga menyebabkan naiknya tinggi muka air di area rendah serta bantaran sungai dekat permukiman warga.
Wilayah banjir meliputi Desa Karang Jinawi, Suka Raja, Bukit Raya, dan Kelurahan Bukit Raya di Kecamatan Sepaku. Sebanyak 331 keluarga atau 1.216 jiwa terdampak, 316 unit rumah tergenang air dengan ketinggian mencapai 50 hingga 150 cm.
[Gambas:Video CNN]
(tim/arh)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA