Jakarta, CNN Indonesia —
Pengadilan Kanada mengungkap pelecehan seksual dilakukan oleh para pastor dan pejabat gereja Katolik di sebuah panti asuhan di Kanada sejak tahun 1940 hingga beberapa dekade setelahnya.
Pengadilan juga mewajibkan gereja Katolik harus membayar 104 juta dollar Kanada kepada ratusan korban pelecehan seksual tersebut.
Pada tahun 2020 Keuskupan Agung Santo Yohanes dinyatakan bertanggung jawab atas salah satu skandal pelecehan seksual terhadap anak terbesar di Kanada, di Panti Asuhan Mount Cashel, panti asuhan anak laki-laki yang sekarang sudah tidak ada di provinsi Newfoundland dan Labrador.
Mengutip NDTV, pengadilan menemukan bahwa pelecehan seksual dilakukan oleh para pastor dan pejabat gereja lainnya di panti asuhan tersebut sejak tahun 1940 dan terus berlanjut selama beberapa dekade.
Lantas, apa penyebab banyak kasus pelecehan seksual terhadap anak di lingkungan gereja Katolik?
Dalam sebuah laporan yang terbit pada tahun 2017 mengungkap bahwa kasus-kasus tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh dua faktor.
Laporan tersebut mengungkap kewajiban hidup membujang dan budaya kerahasiaan yang diciptakan oleh para paus dan uskup merupakan faktor utama mengapa tingkat pelecehan terhadap anak yang begitu tinggi terjadi di gereja Katolik.
Laporan tersebut menemukan ancaman kekerasan seksual terhadap anak-anak di lembaga-lembaga tersebut telah jauh menurun di Australia.
Kendati begitu, anak-anak tetap berada dalam bahaya di paroki-paroki dan sekolah-sekolah Katolik serta lembaga-lembaga tempat tinggal Katolik di negara-negara lain di seluruh dunia, terutama di negara berkembang di mana terdapat lebih dari 9.000 panti asuhan yang dikelola Katolik, termasuk 2.600 panti asuhan di India.
Sifat patriarkis dari lembaga-lembaga Katolik berarti bahwa pelecehan tidak dapat ditantang dan, sementara sejumlah kecil biarawati adalah pelaku pelecehan. Laporan tersebut menemukan risiko pelanggaran jauh lebih tinggi di lembaga-lembaga di mana para pastor dan frater religius hanya memiliki sedikit kontak dengan perempuan.
Laporan itu juga memperkirakan sekitar 7 persen dari para rohaniwan telah melakukan pelecehan terhadap anak-anak antara tahun 1950 dan 2000.
“Kontak mereka dengan perempuan di lembaga-lembaga pelatihan guru akan dilarang dengan hati-hati dan kemudian mereka ditempatkan di sekolah khusus laki-laki di mana mereka bertanggung jawab atas anak laki-laki dan remaja,” demikian tulis laporan itu.
“Dan mereka tinggal di komunitas keagamaan yang semuanya laki-laki. Mereka harus puas dengan gambar Bunda Maria yang disakralkan tanpa kelamin. Itu adalah resep untuk bencana psiko-spiritual.”
Laporan bertajuk Child Sexual Abuse in the Catholic Church: An Interpretive Review of the Literature and Public Inquiry Reports ini terbit di Pusat Penelitian Global di Universitas RMIT itu disusun oleh Des Cahill dan Peter Wilkinson.
Temuan ini mengeksplorasi mengapa gereja Katolik dan para pastor serta fraternya, lebih dari denominasi agama lainnya, telah menjadi identik dengan pelecehan seksual terhadap anak-anak dalam sejarah.
“Saya mengenal beberapa pastor pelaku dan saya belajar dengan mereka dan saya tinggal bersama salah satu dari mereka. Namun saya tidak pernah sadar ketika berada di gereja. Anda harus mengerti, seorang pelaku pelecehan seksual pastor sangat tertutup dan tidak ingin ketahuan,” kata Cahill, mengutip The Guardian.
Temuann ini dibuat setelah memeriksa laporan dari komisi kerajaan, studi akademis, laporan polisi dan laporan gereja dari seluruh dunia sejak tahun 1985.
Di antara temuannya adalah kewajiban hidup membujang menjadi “faktor risiko utama pelecehan seksual terhadap anak” dan para paus serta uskup menciptakan budaya kerahasiaan, yang mengarah pada serangkaian kegagalan besar dalam hal transparansi, akuntabilitas, keterbukaan, dan kepercayaan.
Laporan itu menyatakan bahwa “anak-anak Katolik yang masih muda dan rentan, terutama anak laki-laki, berada dalam bahaya dan berisiko di hadapan para pastor dan biarawan yang tidak matang secara psikoseksual, mengalami keterbelakangan psikoseksual, dan mengalami kekurangan secara seksual, serta mengalami frustasi yang mendalam, terutama mereka yang tidak dapat menyelesaikan identitas seksualnya secara memuaskan.”
“Hal ini terutama terjadi jika para pastor dan religius ini bingung atau menyangkal orientasi homoseksual mereka saat berlatih dan bekerja di lingkungan Gereja yang sangat homofobik,” kata laporan tersebut.
(tim/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA