Alasan Strategis Kebut Modifikasi Cuaca saat Transisi ke Kemarau


Jakarta, CNN Indonesia

Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) digeber di masa transisi musim hujan ke musim kemarau demi mengisi kubah air di lahan gambut agar mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut OMC tersebut digelar di wilayah rentan seperti Sumatra dan Kalimantan, terutama lahan gambut yang kerap jadi titik api, sejak beberapa bulan lalu.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan ada perubahan paradigma pemanfaatan OMC di Indonesia. Sejak 2015, modifikasi cuaca dilakukan untuk upaya mitigasi bencana, bukan lagi penanganan ketika karhutla sudah terjadi. Dan itu terbukti efektif. 


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Caranya dengan melakukan pengisian kubah air gambut. Berdasarkan data Pemantau Air Lahan Gambut (SIPALAGA) ambang batas ketinggian air dalam tanah lahan gambut tidak boleh di bawah 40 cm yang menandakan status rawan kebakaran,” kata dia, di Jakarta, Minggu (21/7), dikutip dari siaran pers BMKG.

Ia menyebut hotspot atau titik api yang dipadamkan dengan hujan hasil OMC lebih efektif jika dibandingkan dengan upaya water bombing dan terrestrial dalam mengatasi karhutla.

BMKG menyebut waktu pada musim transisi hujan ke musim kemarau sengaja dipilih karena pada dasarnya OMC sangat bergantung pada keberadaan awan hujan.

Jika OMC baru dilakukan pada musim kemarau atau pada saat karhutla sudah terjadi, Dwikorita menyebut itu akan sulit dilakukan karena biasanya keberadaan awan sulit ditemukan.

Oleh karenanya, air hujan yang berhasil diturunkan pada musim transisi diupayakan untuk disimpan ke dalam kubah gambut dengan mengisi embung-embung yang berada di daerah rawan karhutla.

Jika musim kemarau dan karhutla terjadi, cadangan air ini juga bisa digunakan oleh tim Manggala yang bekerja secara terrestrial.

Dwikorita menjelaskan efektivitas pembasahan lahan gambut dalam mencegah karhutla sudah terbukti. Berdasarkan data, terjadi keterlambatan lonjakan hotspot (titik panas) di Sumatra dan Kalimantan.

Contohnya, pada 2014–2015, Riau, yang menjadi daerah rawan karhutla, mengalami kenaikan hotspot pada Februari–Maret dan mencapai puncaknya pada Juli, Agustus, dan September.

Dengan masifnya OMC pada musim transisi kemarau, pada 2019, puncak hotspot di Riau baru terjadi pada September dengan jumlah titik yang melandai.

Riau menjadi salah satu lokasi rawan karhutla dari tahun ke tahun dan masuk ke dalam 10 besar provinsi dengan luas area lahan karhutla terbesar.

Pada 2009, luasan lahan yang terbakar di Riau adalah 120,504 hektare, 183,809 hektare pada 2015, 90,550 hektare pada 2019, dan menurun signifikan pada 2023 yaitu 7,267 hektare.

“Hotspot di Provinsi Riau berkurang 93,9 persen pada tahun 2023 jika dibandingkan tahun 2019,” ungkap Dwikorita.

Penurunan jumlah hotspot juga terjadi di Kalimantan. Titik api yang biasa terjadi pada Agustus kini melambat menjadi September bahkan Oktober.

Contohnya Kalimantan Tengah. Pada 2009, luasan area yang terbakar mencapai 247,942 hektare. Pada 2015, luasnya menjadi 583,833 hektare, lalu menurun menjadi 317,749 hektare pada 2019, dan 165,896 hektare pada 2023.

“Ini mengindikasikan OMC berhasil menekan laju kenaikan hotspot pada dua pulau langganan karhutla. Adanya delay lonjakan hotspot mengindikasikan periode kekeringan yang berhasil dipersingkat,” ujar Kepala BNMKG.

Dengan demikian, Dwikorita melihat periode kekeringan yang menjadi sumber pemicu tingginya lonjakan hotspot berhasil dipersingkat karena pada saat periode transisi ke musim kemarau, gambut sudah lebih basah.

Air-air yang berhasil disimpan pada kubah gambut juga bisa digunakan untuk water bombing bilamana karhutla terjadi.

Dengan OMC ini, ia menyebut kemungkinan besar oknum masyarakat yang melakukan pembakaran secara ilegal pun akan kesulitan karena gambut dalam kondisi basah.

Area IKN

Pelaksana Tugas Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto mengatakan area karhutla di Indonesia pada 2023 menurun hingga 29,6 persen jika dibandingkan 2019.

Selain itu, emisi karbon yang berhasil diturunkan akibat kebakaran hutan pada tahun 2023 mencapai 70,7 persen dibanding 2019.

Seto menjelaskan gambut yang terbakar mencakup permukaan hingga ke bagian dalam.

Semakin dalam gambut terbakar, asapnya akan semakin pekat dan menimbulkan emisi karbon yang banyak dan memiliki dampak besar seperti mempercepat laju perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan memperburuk kesehatan manusia.

“Tetapi paling tidak kalau gambutnya dibasahi maka eskalasi kebakaran mampu dikurangi intensitasnya dan emisi karbonnya pun jauh lebih berkurang dibandingkan tahun 2019,” ujar dia.

“Ini tentu sangat berkontribusi positif untuk upaya komitmen pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim bahwa kita mengurangi emisi karbon,” lanjutnya.

Seto juga menyebut awan yang disemai di Kalimantan akan fokus di daerah yang bisa memicu hujan di IKN, yang disebut Presiden membuat pembangunan ibu kota baru tertunda.

“Selama kegiatan OMC berlangsung penyemaian awan dilakukan pada daerah yang berpotensi menyebabkan hujan di area pembangunan infrastruktur penunjang IKN. Penyemaian awan diprioritaskan pada daerah upwind dengan tujuan awan hujan tidak masuk ke daerah target,” jelas dia.

[Gambas:Video CNN]

(tim/arh)


Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Exit mobile version