Benang Kusut Kasus Vina Cirebon, Siapa Mesti Tanggung Jawab?


Jakarta, CNN Indonesia

Rentetan kejanggalan mengikuti kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon, Jawa Barat. Setelah peristiwa tragis ini ramai lagi di 2024, muncul berbagai ‘drama’ yang tak sudah-sudah.

Polda Jawa Barat menangkap Pegi Setiawan alias Perong pada 21 Mei 2024. Ia diyakini jadi salah satu aktor utama pembunuhan yang buron selama delapan tahun.

Pegi ditetapkan jadi tersangka. Ia membantah terlibat pembunuhan. Pegi mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Ia menang dan status tersangkanya pun dibatalkan karena dinilai tak cukup alat bukti.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, polisi juga meralat bahwa total tersangka kasus pembunuhan Vina dan Eky hanya sembilan, bukan 11 seperti yang sebelumnya disampaikan.

Terkini, seorang bernama Dede mengaku membuat kesaksian palsu dalam pembunuhan Vina dan Eky pada 2016. Ia mengaku diarahkan oleh temannya, Aep, dan Rudiana, seorang anggota Polsek Cirebon yang juga ayah Eky.

Dede mengaku menyesal dan meminta maaf. Ia mengaku siap menerima hukuman apapun, asal tujuh terpidana pembunuhan Vina dan Eky bisa dibebaskan dari hukuman.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Azmi Syahputra mengatakan jika pengakuan Dede benar, maka polisi telah melakukan hal yang sangat fatal. Azmi menegaskan tidak seharusnya proses penyidikan hingga pengadilan menghukum seseorang tanpa bukti yang jelas.

“Ini sangat fatal, ini sangat memalukan, unprofessional. Mereka tidak melakukan penyidikan sesuai dengan prosedur hukum acara pidana, termasuk juga kelalaian di tingkat kejaksaan,” kata Azmi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (24/7).

Azmi menilai temuan ini merupakan bukti ketidaktelitian seluruh pihak dalam kasus pembunuhan Vina, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim yang memutuskan perkara. Ia mengingatkan ada tahapan koreksi dalam peradilan pidana.

Jaksa seharusnya tidak menerima mentah-mentah hasil penyidikan dari kepolisian. Apalagi dalam kejadian ini, Aep dan Dede sebagai saksi sama sekali tidak pernah dimunculkan ke persidangan.

Azmi menyebut hal-hal janggal tersebut seharusnya menjadi perhatian kejaksaan dan menjadi pertimbangan dalam melayangkan tuntutan hukum.

“Jadi ini seolah ditumbalkan orang-orang yang mungkin bukan pelaku,” ucap dia.

Ia menilai pengakuan Dede soal keterangan palsu tersebut dapat menguntungkan terpidana lain yang akan atau sudah mengajukan peninjauan kembali (PK).

Syarat mengajukan PK adalah dengan adanya keadaan atau novum (alat bukti) baru. Selain pengakuan dari saksi Dede, para terpidana juga bisa menggunakan status penetapan tersangka Pegi Setiawan yang dibatalkan PN Bandung.

“Selain keterangan Dede, pelaku utama atau otaknya itu memang tidak ada. Kemarin seolah disanderakan dengan DPO kan otak pelakunya, tapi ternyata itu fiktif,” tuturnya.

Jika PK dikabulkan, maka para terpidana harus segera dibebaskan dan dikembalikan haknya. Azmi mengingatkan delapan tahun menyandang gelar narapidana bukanlah hal yang mudah bagi mereka saat kembali ke masyarakat.

Setelahnya, para terpidana bisa mengajukan gugatan baru untuk ganti rugi. Dalam kasus ini, Azmi menilai kemungkinan PK akan dikabulkan apabila peradilan menggunakan keterangan terakhir para saksi.

“Jadi nanti apabila PK dikabulkan, mereka dipulihkan keadaannya dan penyelidikan kembali diulang,” kata dia.

Azmi pun meminta Bareskrim Polri kembali fokus dalam kasus ini dari titik nol. Ia meminta penyidik polisi merunutkan kasus dari awal, dari kemungkinan bukti di tempat kejadian perkara (TKP) yang telah rusak atau dimanipulasi.

Polri harus kembali melakukan penyelidikan, dimulai lewat gelar perkara awal dengan memanggil pihak pelapor untuk mengetahui permasalahan ataupun objek yang dilaporkan.

“Bareskrim harus memulai dari titik nol. Jadi siapapun yang mengajukan dan memiliki bukti, mau tidak mau ya harus diproses,” katanya.

Azmi berpendapat seluruh aparat penegak hukum dan institusi tempat mereka bernaung harus bertanggung jawab dalam hal ini. Namun, ia juga tidak berharap tiap institusi saling menyalahkan.

Ia menegaskan polisi harus fokus untuk mencari titik temu atas benang kusut dalam kasus pembunuhan Vina. Aparat penegak hukum menurutnya harus bertanggung jawab dengan mengungkap kebenaran dalam kasus ini.

“Fokus pada penyelesaian solusi ke depan. Makanya Polri harus membuka wadah laporan baru agar masyarakat bisa memberikan informasi baru, termasuk lah kita masyarakat sipil,” ujar Azmi.

Instansi bertanggung jawab

Terpisah, Pakar Hukum Pidana Chudry Sitompul menilai hal paling utama yang harus dilakukan para terpidana saat ini adalah dengan mengajukan PK. Ia menyebut pengakuan Dede yang telah memberikan keterangan palsu dapat menguntungkan ketujuh terpidana.

Chudry menjelaskan dalam ilmu hukum terdapat asas lex posterior derogat legi priori alias peraturan baru mengenyampingkan peraturan yang lama.

Sejalan dengan logika asas tersebut, maka keterangan seorang saksi yang terakhir mampu mengenyampingkan keterangannya yang terdahulu.

“Jika dikaitkan dengan fakta tersebut di atas, maka keterangan Dede yang terakhir menyampingkan keterangan terdahulu di sidang yang lalu,” kata Chudry kepada CNNIndonesia.com, Rabu.

Chudry pun menilai kemungkinan majelis hakim akan mengabulkan PK para terpidana apabila dalam pemeriksaannya benar Dede telah berbohong atas kesaksiannya pada 2016 lalu.

Ia mengatakan aparat penegak hukum akan terus jadi sorotan publik jika tidak mampu menyelesaikan kasus pembunuhan Vina hingga terang benderang.

Menurutnya, saat ini polisi terkesan asal kerja dan pada mode defensif. Hal ini, kata Chudry, terlihat dari penetapan tersangka Pegi Setiawan.

“Jadi polisi ini sibuk bertahan bahwa dia melakukan proses yang benar. Tapi polisi juga jangan tutup mata, publik sekarang ini kan cerdas,” jelasnya.

Chudry mengingatkan kesalahan fatal dalam kasus Vina bisa menimbulkan persepsi negatif bahwa dalam kasus lain bisa saja polisi melakukan kesalahan yang serupa.

Ia meminta aparat penegak hukum tidak lagi main-main. Ia pun mengingatkan mereka harus bertanggung jawab dalam proses ini.

“Sekarang masalahnya ada dua. Pertama, mengurusi soal terpidana yang meminta agar dibebaskan. Kedua, polisi harus menemukan siapa pelaku sebenarnya dalam pembunuhan kasus Vina,” kata dia.

Sebab, Chudry pun menilai pantas ada kecacatan dalam proses peradilan pidana yang menjerat tujuh orang dengan pidana seumur hidup itu. Salah satunya terkait saksi yang tidak dihadirkan selama proses peradilan.

Chudry menyebut dengan kelalaian para aparat penegak hukum, maka mereka bisa diberikan sanksi administrasi oleh instansi terkait. Hal itu menurutnya sebagai bentuk rasa tanggung jawab.

“Karena tidak ada sanksi pidananya bagi mereka. Ya, mungkin sanksi administrasi terkait pembinaan karier mereka,” ucapnya.

(khr/tsa)

Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA