Indonesia mengalami deflasi lima bulan beruntun sejak Mei 2024. Sejumlah pihak melihatnya sebagai alarm bahaya menurunnya daya beli masyarakat. Namun, pemerintah mengklaim ini merupakan keberhasilan negara menjaga harga.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menekankan deflasi beruntun bukti pemerintah sukses mengendalikan harga komoditas pangan.
“Kalau kita bilang inflasinya turun, deflasi, ya ini karena ada extra effort oleh pemerintah menurunkan volatile food,” katanya dalam Sarasehan Kadin di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Rabu (2/10).
Sementara, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menilai peralihan musim menjadi pemicu harga pangan jatuh. Kendati, ia tak bisa memastikan apakah deflasi beririsan dengan penurunan daya beli masyarakat.
Pria yang akrab disapa Zulhas itu hanya mengatakan peralihan musim membuat suplai di musim hujan terlalu banyak alias over supply. Ia mengklaim pemerintah akan menganalisis lebih jauh terkait kondisi di lapangan.
Deflasi tahun ini pertama kali terjadi pada Mei 2024 sebesar 0,03 persen month to month (mtm). Lalu, semakin dalam di Juni 2024 menyentuh 0,08 persen, juga tak lebih baik pada Juli 2024 yang menembus 0,18 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi mulai membaik pada Agustus 2024, yakni kembali ke level 0,03 persen secara bulanan. Sayang, tingkat deflasi di Indonesia kembali memburuk ke posisi 0,12 persen mtm pada September 2024.
“Secara historis, deflasi September 2024 merupakan deflasi terdalam dibandingkan bulan yang sama dalam lima tahun terakhir, dengan tingkat deflasi sebesar 0,12 persen mtm,” kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam Konferensi Pers di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Selasa (1/10).
“Deflasi yang terjadi dalam lima bulan terakhir terlihat secara umum disumbang oleh penurunan harga komoditas bergejolak,” bebernya.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengkritik pernyataan Menko Perekonomian Airlangga. Menurutnya, pemerintah tak mengerti permasalahan yang terjadi di lapangan.
Huda menganggap Airlangga dan jajaran Kemenko Perekonomian hanya melihat deflasi beruntun dari sudut sempit. Ia menyayangkan pemerintah tak menyikapi fenomena ini dari sudut pandang yang lebih luas.
“Tanpa melihat helicopter view yang besar, bagaimana trennya, di lapangan seperti apa, dan sebagainya yang luput dari perhatian pemerintah. Entah luput atau memang enggak tahu malu,” ucap Huda kepada CNNIndonesia.com, Senin (7/10).
“Jika keberhasilan pemerintah, harusnya harga beras tidak mahal, harga minyak tidak mahal, rakyat tidak perlu memakan tabungan. Kan ini tidak. Beras sampai saat ini masih inflasi, jangan salah! Makanya, ini entah ketidaktahuan atau ketidakpedulian pemerintah terhadap kondisi ekonomi masyarakat,” tuturnya.
Huda menyoroti tingkat inflasi inti pada September 2024 berada di level 0,16 persen mtm atau turun dari bulan sebelumnya. Ia menegaskan ini adalah bukti menurunnya kemampuan masyarakat dalam membeli barang.
Begitu pula dari sisi data penunjang, misalnya tabungan masyarakat. Ia menegaskan kemampuan orang Indonesia untuk menabung saat ini melemah, bahkan sekarang sudah di tahap makan tabungan.
“Pemerintah saya rasa harus pintar membuat kebijakan yang cenderung mempunyai dampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga. Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) tahun depan (menjadi 12 persen) bisa dibatalkan. Pembatasan pertalite (juga) harus dilakukan secara matang dengan melihat unsur keadilan bagi penerima subsidi,” saran Huda.
“Dampak ke ekonomi dari kondisi denial pemerintah ini adalah inkompetensi pemerintah (yang) akan berujung pada minat investasi. Kepercayaan publik pada data juga akan berkurang. Jangan mentang-mentang kepuasan Jokowi (Presiden Joko Widodo) tinggi bisa seenaknya, tingkat kepuasan Jokowi itu juga permainan statistik,” tegasnya.
Bersambung ke halaman berikutnya…
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA