Jakarta, CNN Indonesia —
Zona Megathrust Selat Sunda disebut-sebut menjadi ancaman serius, karena mampu menghasilkan gempa dahsyat yang memicu tsunami. Mungkinkah dia memicu letusan Gunung Anak Krakatau?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya sempat mengeluarkan peringatan potensi gempa dari dua megathrust di Indonesia, yang sudah lama tak melepaskan energi besarnya.
Salah satunya adalah Megathrust Selat Sunda, yang berada di Samudera Hindia, di selatan Bengkulu, Lampung, hingga Selatan Jawa Barat.
Megathrust Selat Sunda memiliki panjang 280 km, lebar 200 km, dan pergeseran (slip rate) 4 cm per tahun, tercatat pernah ‘pecah’ pada 1699 dan 1780 dengan Magnitudo 8,5.
Selain itu, ada juga Megathrust Mentawai-Siberut yang juga berpotensi mengeluarkan energinya, meski tak tahu kapan hal itu bakal terjadi.
Namun begitu, Megathrust Selat Sunda mendapat porsi perhatian lebih besar, selain karena posisinya dekat dengan DKI Jakarta, letaknya juga berdekatan dengan Gunung Anak Krakatau. Gunung ini muncul dari permukaan laut setelah letusan Gunung Krakatau pada 1883.
Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017, yang disusun oleh Pusat Studi Gempa Nasional, mengungkap bahwa di daerah ini terdapat vulkanik aktif yang letusan paling dahsyat terjadi ketika Krakatau meletus pada tahun 1883.
Struktur dalaman di daerah ini terbentuk sebagai graben dengan arah relatif utara selatan.
Graben merupakan istilah ilmiah untuk menyebut hasil dari patahan kulit Bumi, terletak di antara dua bagian yang lebih tinggi.
Kombinasi megathrust dan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda ini bisa menggandakan dampak bencana.
Lantas, bisakah gempa Megathrust Selat Sunda memicu erupsi Gunung Anak Krakatau?
Ahli Mitigasi Bencana Geologi Surono, atau yang akrab disapa Mbah Rono, mengatakan gempa, dengan magnitudo besar sekali pun, belum tentu akan membuat sebuah gunung api meletus.
Ia mencontohkan gempa Sumatra dengan Magnitudo 9,1 pada 2004 yang memicu tsunami Aceh saja tidak membuat gunung-gunung api di Sumatra aktif.
Surono menyebut lindu baru bisa ngefek ke erupsi gunung berapi hanya jika memenuhi syarat khusus; kantung magma sudah penuh dan bertekanan tinggi.
“Ada gempa bumi, [aktivitas] gunungnya meningkat, jika kantung fluida magmanya penuh dan bertekanan tinggi. Begitu diganggu dari luar, ada gempa, ya mledos [erupsi]. Kalau kantung fluida tidak penuh, magmanya tidak tekanan tinggi, ada gempa segede apa pun tenang aja dia,” kata Mbah Rono saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (16/8).
“Jadi, tidak selalu ada gempa bumi itu gunungnya mesti meletus, bagaimana dulu kondisi kantung magmanya,” lanjut dia.
Lembaga Peninjau Geologi AS (USGS) dalam penjelasannya juga menyebut dalam beberapa kasus gempa tektonik memang bisa memicu letusan gunung berapi.
Beberapa gempa bumi regional yang besar (lebih besar dari M 6) dianggap terkait dengan letusan berikutnya atau beberapa jenis gejolak di gunung api terdekat.
“Namun, gunung berapi hanya dapat dipicu untuk meletus oleh gempa tektonik di dekatnya jika gunung berapi tersebut sudah siap untuk meletus,” demikian keterangan USGS.
Lembaga tersebut menambahkan setidaknya ada dua kondisi yang harus terpenuhi agar gempa dapat memicu letusan gunung berapi.
Pertama, magma yang cukup “mudah meletus” di dalam sistem gunung berapi. Kedua, tekanan yang signifikan di dalam wilayah penyimpanan magma.
Mirzam Abdurrachman, Ahli Vulkanologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan gempa tektonik bisa berpengaruh ke gunung api dengan kondisi tertentu.
Yakni, gunung api yang kritis, dalam hal ini yang berstatus Siaga atau Awas, yang ditunjukkan dengan peningkatan aktivitas seperti gempa vulkanik, keringnya mata air, serta peningkatan pelepasan gas maupun letusan-letusan kecil.
Dalam keadaan kritis, kata dia, gas terlarut ataupun volume magma yang banyak sangat mudah dikeluarkan jika diberi pemantik, seperti halnya gempa bumi.
Ia mencontohkan peristiwa meletusnya Gunung Fuji, Jepang pada 28 Oktober tahun 1707 disebabkan oleh gempa tektonik. Saat itu, gempa besar berkekuatan 8,6 skala Richter mengguncang pantai Jepang sepanjang Nakai Megathrust, barat daya Jepang.
“Ini adalah salah satu gempa terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Jepang yang memakan korban hingga lebih dari 5.000 jiwa. Kekuatan gempa tersebut kekuatannya baru bisa dikalahkan oleh gempa Tohoku pada 2011,” jelas Mirzam, mengutip laman resmi ITB.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, pada 2019, sempat mengatakan bahwa aktivitas peningkatan vulkanisme memang sensitif dengan guncangan gempa.
Oleh karena itu, menurut Daryono, secara tektovolkanik aktivitas tektonik memang dapat meningkatkan aktivitas vulkanisme. Namun, tak semua aktivitas tektonik bisa meningkatkan vulkanisme.
Hanya kondisi gunung yang sedang aktif yang bisa meletus akibat pengaruh gempa. Sebab, kondisi magmanya sedang cair dan kaya akan produksi gas. Dalam kondisi seperti ini erupsi gunung api mudah dipicu oleh gempa tektonik.
Gempa tektonik dapat meningkatkan stress-strain yang dapat memicu perubahan tekanan gas di kantong magma sehingga terjadi akumulasi gas, yang kemudian memicu terjadinya erupsi. Namun demikian, perlu ada kajian empiris untuk membuktikan kaitan ini.
[Gambas:Video CNN]
(tim/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA