Indonesia memiliki mimpi besar; menjadi raja di industri kendaraan listrik alias electric vehicle (EV) global.
Beragam cara pun ditempuh pemerintah untuk mewujudkan mimpi itu. Salah satunya, menarik investor membangun ekosistem kendaraan listrik dari hulu ke hilir di Tanah Air.
Mereka gencar menarik investor supaya hal itu bisa terwujud. Tak heran, visi hilirisasi nikel yang berupa salah satu bahan baterai EV selalu digembar-gemborkan penguasa.
Pemerintah ingin mineral mentah itu diolah hingga mewujud barang jadi di dalam negeri.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) getol mengklaim hilirisasi ini demi meningkatkan nilai tambah untuk Indonesia. Kali ini, Jokowi pun tampak berbangga diri.
Maklum, ia baru saja meresmikan ekosistem baterai dan kendaraan listrik Korea Selatan di Karawang, Jawa Barat, Rabu (3/7).
Pabrik baterai kendaraan listrik ini dibangun oleh PT Hyundai LG Indonesia Green Power (HLI Green Power), yang merupakan perusahaan joint venture antara Hyundai Motor Company, LG Energy Solution, dan PT Indonesia Battery Corporation (IBC).
Orang nomor satu di Indonesia itu mengklaim pabrik baterai listrik ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dan menjadi tonggak komitmen Indonesia untuk menjadi pemain global di ekosistem baterai sel serta kendaraan listrik.
Ia pun yakin Indonesia bisa bersaing dengan negara manapun karena memiliki nikel, bauksit, tembaga, dan smelter. Dengan kelebihan ini, Jokowi yakin tidak ada yg bisa menghalangi RI untuk maju.
“Kemudian masuk ke EV baterai, kemudian pabrik mobilnya ada di sini, terintegrasi dalam sebuah ekosistem untuk mobil listrik. Siapa yang bisa menghadang kita kalau kondisinya sangat kompetitif seperti itu,” katanya.
Pengembangan ekosistem baterai dan kendaraan listrik di Karawang ini sejatinya telah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Investasi PT HLI Green Power merupakan tindak lanjut dari penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kementerian Investasi/BKPM dan Konsorsium Hyundai, LG, dan IBC pada 28 Juli 2021.
Groundbreaking pabrik ini dilakukan pada September 2021 lalu. Adapun proyek investasi ini merupakan salah satu bukti implementasi komitmen Jokowi dan Presiden Moon Jae-in pada pertemuan di Korea Selatan 2019 untuk memperkuat kerja sama bilateral di bidang ekonomi dan investasi.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yakin apabila semua tahapan dari mulai pertambangan, smelter, HPAL (High Pressure Acid Leach), prekursor, sel baterai, sampai dengan mobil semua sudah siap dilakukan, maka Indonesia menjadi salah satu negara pemain ekosistem baterai mobil listrik, khususnya yang berbahan baku nikel.
“Kami tanya di dunia sudah ada belum yang membangun ekosistem baterai mobil yang terintegrasi dari hulu, dari tambang sampai mobil. Ternyata belum ada, dan kita, Indonesia, yang pertama untuk melakukan hal ini,” ungkap Bahlil.
Lantas, dengan berdirinya pabrik tersebut apakah Indonesia mampu merajai industri kendaraan listrik?
Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis Putra Adhiguna menilai peresmian pabrik tersebut adalah langkah maju bagi Indonesia. Namun, untuk mencapai cita-cita menjadi pemimpin industri kendaraan listrik dunia, masih jauh.
“Menjadi ‘raja kendaraan listrik dunia’ hampir tidak mungkin terjadi karena meski mensuplai lebih dari separuh nikel dunia kita hanya punya 0,4 persen pabrik baterai dunia,” jelas Putra kepada CNNIndonesia.com, Rabu (3/7).
Menurutnya, negara lain sudah berjalan jauh lebih cepat untuk pabrikan baterai. Sementara, RI utamanya selama ini baru membangun produk dasar smelter.
Di sisi lain, keberadaan pabrik dengan ekosistem hilirisasi nikel itu juga belum tentu dapat menguasai pasar dalam negeri. Apalagi, sebagian besar EV di Indonesia tidak menggunakan nikel.
Lihat saja, mobil-mobil listrik merek China yang selama ini dijual di Indonesia; tidak ada satupun yang menggunakan baterai berbahan baku nikel. Berdasarkan spesifikasi di situs masing-masing, semua mobil listrik mulai dari Wuling sampai yang terbaru BYD, memakai LFP (Lithium Ferro-Phosphate/LifePO4).
Dua model Wuling, Air EV dan Binguo EV, menggunakan baterai LFP. Keduanya adalah mobil listrik yang mendapatkan subsidi diskon PPN dari pemerintah lantaran diproduksi di dalam negeri dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) lebih dari 40 persen.
Mobil listrik China lain yang memakai LFP adalah MG 4 EV dan MG ZS EV. Sama seperti produk Wuling, keduanya juga menerima subsidi karena memenuhi syarat diproduksi lokal.
Satu-satunya mobil listrik Neta, V, juga menggunakan LFP. Saat ini V masih diimpor dari China dan akan diproduksi lokal pada tahun ini.
Tak hanya itu, mobil listrik jenis komersial pertama di dalam negeri, DFSK Gelora E, juga memakai LFP. BYD yang beberapa waktu lalu mengumumkan kehadirannya juga menggunakan LFP pada ketiga model mobil listrik yang dijual di dalam negeri, yakni Atto 3, Dolpin, dan Seal.
Oleh karena itu, Putra berpendapat untuk mengerek produksi dalam negeri lewat pabrik HLI Green Power, pemerintah perlu meningkatkan demand EV itu sendiri.
“Investasi pabrikan EV utamanya ditopang oleh permintaan kendaraan bukan keberadaan nikel,” ucapnya.
Indonesia katanya, malah bisa dibilang kalah jika dibandingkan Thailand dan Vietnam dalam hal produksi kendaraan listrik. Padahal, kedua negara itu tak memiliki nikel.
Putra menuturkan Thailand terlihat bergerak lebih cepat dalam mengundang pabrikan EV melalui berbagai insentif. Vietnam juga sama, karena mereka fokus ke produk akhir.
“Kita tampak bergerak dari nikel perlahan ke atas dalam rantai pasok, tapi negara lain masuk lebih cepat untuk membangun demand EV dan fokus menarik pabrikannya,” ujar Putra.
Karenanya, sekali lagi Putra mengingatkan bahwa untuk merajai industri kendaraan listrik, tentu yang perlu didorong adalah demand. Sebab, pabrikan baterai dan EV utamanya akan didorong oleh demand kendaraan tersebut.
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA