Jambi, CNN Indonesia —
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkap pengamatan satelit menunjukkan tingkat kenaikan permukaan air laut global meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2022.
Berdasarkan laporan ilmiah, pada 2002, kenaikan permukaan laut rata-rata berkisar 2,14 mm per tahun. Namun, pada periode 2013 sampai 2022, kenaikan permukaan laut meningkatkan signifikan, yakni 4,72 milimeter (mm) per tahun.
“Kenaikan [permukaan air laut] dua kali lipat menjadi 4,72 milimeter per tahun dibandingkan tahun 2002,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, saat peresmian menara Gas Rumah Kaca (GRK) di Jambi, Kamis (18/7).
Kenaikan permukaan laut, kata Dwikorita, akan menyempitkan daratan hingga menenggelamkan pulau kecil.
“Bayangkan pulau-pulau kecil akan tenggelam dan daratan semakin sempit karena ditutup air laut,” ujarnya.
Menurut data lembaga antariksa AS NASA, laju kenaikan ketinggian permukaan laut rata-rata global (GMSL) sejak 1993 hingga sekarang mencapai 3,4 milimeter per tahun.
“Dan terdapat indikasi bahwa laju kenaikan GMSL telah meningkat selama pencatatan satelit altimeter,” menurut NASA di situsnya.
GMSL sendiri merupakan ukuran integratif mengenai keadaan sistem iklim, yang mencakup lautan dan kriosfer (bagian bumi yang tertutup es), dan merupakan indikator penting soal apa yang terjadi pada iklim saat ini dan nanti.
Perubahan GMSL diukur dengan satelit altimeter, yakni Sentinel-6/Michael Freilich yang diluncurkan di 2020, selama 27 tahun terakhir.
Fenomena ini sendiri merupakan dampak dari kenaikan suhu dan perubahan iklim. Es di kutub utara dan selatan mengalami pencarian lebih cepat selama beberapa tahun terakhir.
Merujuk kajian Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) peningkatan suhu sejak tahun 2015 hingga 2023 melesat mencapai 1,45 derajat Celsius.
Suhu pada tahun 2023 terpaut 0,05 dari ambang batas peningkatan suhu permukaan bumi yang diwanti-wanti sejumlah negara di dunia dalam Paris Agreement pada tahun 2015 lalu.
“Ternyata suhu global naik 1,45 derajat Celsius. Tinggal 0,05 derajat Celsius yang diizinkan naik tahun ini,” kata Dwikorita.
Menara pemantau gas rumah kaca
Karena fenomena itu, BMKG mendirikan menara Gas Rumah Kaca (GRK) baru di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Menara ini diresmikan Kamis (18/7) siang oleh Dwikorita, Direktur Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dewanti, Direktur Bidang Lingkungan Hidup Bappenas Priyanto Rohmatullah, dan Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Jambi Arif Munandar.
Dwikorita mengatakan menara setinggi 100 meter ini berfungsi untuk memantau hingga memberikan informasi terintegrasi terkait gas rumah kaca global.
“Tujuannya memonitor perubahan konsentrasi gas rumah kaca, apakah meningkat atau bagaimana. Dengan ini kita bisa memberikan peringatan dini tentang peningkatan gas rumah kaca,” ujarnya.
Tower GRK di Muaro Jambi ini merupakan yang kedua diresmikan BMKG setelah di Sumatera Barat. Nantinya, akan ada empat menara GRK lagi yang dipasang di berbagai provinsi di Sumatera.
“Jadi, tergetnya enam tower di Sumatera. Dengan enam titik pengamatan per sistem, akan bisa dihitung kira-kira di mana yang menyumbang gas rumah kaca terbesar. Informasi yang terukur dan valid menerus, itu dibutuhkan berbagai sektor untuk mengurangi kenaikan suhu permukaan,” katanya.
Dwikorita mengatakan Indonesia akan lebih rentan mengalami bencana alam dan krisis pangan pada tahun 2050 apabila suhu dibiarkan terus meningkat.
“Bila itu terjadi, petani terdampak kekeringan. Kita tidak bisa impor pangan karena negara lain juga akan merasakannya,” katanya.
Jambi, kata Dwikorita, termasuk sangat rentan terhadap perubahan iklim. Apalagi di provinsi ini kerap terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Ada pembukaan lahan yang tidak terkendali. Kegiatan-kegiatan yang menyumbang gas rumah kaca. Sedang diukur dengan tower ini,jadi belum bisa menyimpulkan. Nanti kita akan tahu ini seperti apa,” ujarnya.
[Gambas:Video CNN]
(msa/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA