Dari Rimba Kalimantan Sampai ke Meja Istana

Jakarta, CNN Indonesia

Daunnya berwarna hijau, cenderung gelap namun agak mengilap. Bentuknya lebar, tapi juga memanjang dan melancip pada bagian ujungnya. Teksturnya kasar, kaku seperti kertas. Mirip daun jambu biji, hanya saja sedikit lebih besar dari telapak tangan orang dewasa.

Begitulah daun kratom rupanya.

Tumbuhan endemik dari Asia Tenggara ini hidup liar di Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, hingga Papua Nugini. Di Indonesia, pohon kratom tumbuh subur terutama di sejumlah daerah di Kalimantan.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kratom punya banyak nama. Orang-orang di Malaysia menyebutnya ketum atau kutuk. Thailand mengenalnya sebagai kadam. Filipina menamainya mambog. Sementara di Kalimantan, kratom juga dikenal dengan istilah purik, ketum, kedamba, juga sepat.

Nama-nama itu muncul dari para leluhur masyarakat adat di pelosok hutan yang telah memanfaatkan kratom sebagai daun herbal pengobatan beragam penyakit, maupun sebagai bagian dari ritual pemujaan.

Tak semua orang tahu kratom. Sampai akhirnya daun itu kini menjelma jadi tumbuhan polemis. Sejumlah negara melabeli kratom sebagai tanaman psikotropika di tengah perkembangan riset atas pemanfaatan daun tersebut. Aparat hukum di Indonesia bahkan berniat menjadikannya sebagai tumbuhan narkotika.

Polemik ini pun sampai ke meja Istana lantaran kratom bukan hanya jadi perdebatan urusan medis, tapi juga telah terbukti memberikan dampak perekonomian hingga menjadi komoditas ekspor yang menggiurkan.

Presiden Joko Widodo sampai harus mengumpulkan jajaran menteri untuk membenahi sengkarut legalisasi pemanfaatan dan bisnis komoditas kratom.

“Presiden menekankan yang perlu dioptimalisasi adalah asas manfaat kratom itu,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko usai mengikuti rapat terbatas yang dipimpin Jokowi tentang legalisasi kratom di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/6).




(CNN Indonesia/ Agder Maulana)

Keberadaan kratom pertama kali dicatat oleh botanis Belanda Pieter Willem Korthal (1807- 1892). Ia menggolongkan kratom ke dalam marga mitragyna, bagian dari suku rubiaceae atau suku kopi-kopian. Kratom sejak itu dinamai sebagai mitragyna speciosa.

Peneliti Balitbang Kementerian Kesehatan Slamet Wahyono dalam laporan jurnal Kratom, Prospek Kesehatan dan Sosial Ekonomi mencatat pemanfaatan daun itu pertama kali didokumentasikan pada 1836 sebagai pengganti opium di Malaysia.

Memasuki 1900, ditemukan literatur ilmiah bahwa daun kratom dapat meringankan gejala putus obat golongan opiat. Secara tradisional kratom digunakan untuk mengatasi malaria, batuk, hipertensi, diare, stress, menurunkan demam, dan meredakan nyeri.

Sementara dalam budaya tradisional Thailand, daun kratom menjadi jamuan teh saat menerima tamu serta bagian dari ritual pemujaan leluhur dan dewa.

Kratom sudah puluhan tahun digunakan oleh para pekerja kasar, petani, dan buruh sebagai stimulan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan toleransi terhadap kondisi iklim yang panas dan lembab di Malaysia dan Thailand.

Di Indonesia, daun ini tercatat digunakan secara tradisional di Kalimantan sejak satu abad terakhir. Pemanfaatannya telah menjadi bagian dari tatanan sosial di daerah tersebut selama ratusan tahun.

Data Riset Tumbuhan Obat dan Jamu tahun 2015 mengungkap kratom digunakan oleh sejumlah etnis. Kratom dikenal dengan nama bengkal dan digunakan sebagai penghalus kulit oleh etnis Bentian, Kalimantan Timur.

Sementara etnis Segai dan Berau, menjadikan kratom sebagai salah satu komponen dalam ramuan perawatan nifas, penghilang capek, dan pegal linu. Mereka menyebut kratom sebagai attiap.

Kementerian Kesehatan dan Universitas Tanjungpura dalam penelitiannya pada 2016 mendapati etnis Dayak Kantu telah menjadikan kratom sebagai tanaman istimewa bagian dari ritual magis pengobatan untuk penyembuhan berbagai penyakit.

Berlanjut ke halaman berikutnya…


Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Exit mobile version