Jakarta, CNN Indonesia —
Fenomena iklim mirip El Nino berhasil ditemukan dengan pusat lokasi di sekitar Selandia Baru dan Australia.
Temuan itu berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan oleh para ilmuwan yang menunjukkan pola iklim seperti El Nino di dekat Selandia Baru dan Australia. Ini dapat memicu perubahan suhu di seluruh belahan Bumi selatan.
Anomali iklim El Nino, yang memicu kekeringan di banyak negara, termasuk Indonesia, punya pusat di wilayah tropis Samudra Pasifik, tepatnya di di pantai barat Ekuador dan Peru.
Di lokasi yang sama, secara bergantian muncul pula fenomena La Nina, yang memicu curah hujan lebih tinggi secara global. Keduanya masuk dalam siklus El Nino Southern Oscillation (ENSO).
Untuk menemukan fenomena sejenis El Nino di lokasi berbeda, para ilmuwan mensimulasikan pola iklim yang sama, dan menemukan pola ini memengaruhi angin dan suhu laut di seluruh Belahan Bumi Selatan.
Pola ini dimulai dengan menghangatnya laut di dekat Selandia Baru dan Australia yang memicu gelombang perubahan suhu di selatan khatulistiwa.
Para ilmuwan iklim mengetahui tentang pola yang memengaruhi fluktuasi suhu permukaan laut di wilayah tersebut sejak tahun 2021, tetapi mereka tidak memahami cara kerjanya.
Hal ini diungkap dalam studi yang diterbitkan pada 6 Juli di Journal of Geophysical Research: Oceans. Mereka menamai fenomena iklim tersebut sebagai “Pola Wavenumber-4 Belahan Bumi Selatan” (SST-W4).
“Penemuan ini seperti menemukan perubahan baru dalam iklim Bumi,” kata penulis utama studi ini, Balaji Senapati, seorang peneliti pascadoktoral di bidang dinamika iklim di University of Reading di Inggris, dalam sebuah pernyataan, mengutip Live Science, Jumat (26/7).
“Hal ini menunjukkan area lautan yang relatif kecil dapat memiliki dampak yang luas pada pola cuaca dan iklim global,” imbuhnya.
Pola SST-W4 memiliki beberapa karakteristik mirip dengan El Nino. Namun, pola SST-W4 terjadi secara independen dari El Nino dan sistem cuaca lain yang diketahui.
Untuk melacak pola tersebut, para peneliti menggunakan emulator iklim yang disebut SINTEX-F2 untuk mensimulasikan kondisi iklim selama 300 tahun, menurut penelitian tersebut.
Pemodelan tersebut mengungkapkan fluktuasi suhu permukaan laut dari tahun ke tahun antara bulan Desember dan Februari, yang disebabkan oleh pola berputar-putar dari empat area hangat dan dingin yang bergantian.
Pola seperti gelombang ini muncul dari titik awalnya di Pasifik subtropis barat daya dan bergerak mengelilingi Belahan Bumi Selatan dengan angin kencang.
Para peneliti mengklaim, setelah mensimulasikan pola SST-W4, mereka dapat memprediksi kejadian cuaca di selatan khatulistiwa dengan lebih baik.
“Memahami sistem cuaca baru ini dapat sangat meningkatkan prakiraan cuaca dan prediksi iklim, terutama di Belahan Bumi Selatan,” kata Senapati.
“Ini bisa membantu menjelaskan perubahan iklim yang sebelumnya masih misterius dan dapat meningkatkan kemampuan kita untuk memprediksi kejadian cuaca dan iklim yang ekstrem,” pungkasnya.
[Gambas:Video CNN]
(tim/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA