Jakarta Kian Sesak, Mati Pun Tak Punya Tempat

Jakarta, CNN Indonesia

Di bawah rindang pohon kamboja, Suparman (70) berdiri memandangi deretan nisan yang tampak asing.

Matanya menyapu satu per satu batu nisan di salah satu tempat pemakaman umum Utan Kayu, Cengkareng, Jakarta Barat tempat anak pertamanya dimakamkan lebih dari tiga dekade lalu.

Tapi, nama yang dia cari sudah tak ada.



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Dulu saya sudah beli seumur hidup, lupa juga harga pastinya berapa. Tiap tahun juga bayar untuk perawatan,” ujarnya dengan suara pelan saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Rabu (22/10).

Diakui Suparman, dulu dia memang rutin datang ke makam anak pertamanya itu. Setahun bisa dua sampai tiga kali.

Tapi di 2010, sejak kondisi kesehatan istrinya menurun dan memutuskan pindah ke daerah Ciamis, intensitas ke makam makin jarang.

Hingga pada 2017, setelah hampir tujuh tahun tak berziarah, Suparman memutuskan datang sekitar sepekan setelah Idulfitri untuk ‘menengok’ anak pertamanya itu.

“Tapi waktu saya ke sana lagi sekitar tahun 2017, tiba-tiba makam anak saya sudah hilang. Diganti nama orang lain. Katanya ditumpuk,” kata Suparman mengenang.

Suparman sempat ingin menggugat. Tapi pengelola TPU sudah berganti, pencatatannya pun tak ada, dan semua bukti pembayaran juga hilang.

“Enggak ada yang bisa dimintai tanggung jawab. Jadi ya, cuma bisa pasrah,” ucapnya lirih.

Kisah seperti Suparman bukan hal baru. Di Jakarta dan sekitarnya, semakin banyak keluarga yang menghadapi kenyataan getir, bahkan untuk beristirahat setelah mati pun, ruangnya semakin sempit.

Ditumpuk di atas makam orang tak dikenal

Susanti (38) masih belum sepenuhnya pulih dari duka. Minggu lalu, mertua laki-lakinya meninggal dunia dan dimakamkan di TPU yang berada di kawasan Puri Beta, Tangerang.

Tapi pengalaman yang dia rasakan di sana menambah perih di tengah kehilangan.

“Pas gali lubang, ternyata dangkal banget, enggak sampai dua meter,” ujarnya.

“Katanya ditumpuk sama makam orang lain, padahal bukan keluarga kami. Kami enggak tahu siapa orang itu.”

Dia mengaku harus membayar sekitar Rp6,5 juta hanya untuk lahan makam, belum termasuk biaya pengurusan jenazah.

“Sudah mahal, tapi enggak bisa pilih lokasi. Kalau TPU-nya sudah penuh, ya ditumpuk begitu saja,” katanya dengan nada getir.

Kisah itu mengingatkan Susanti pada saat kehilangan anak pertamanya beberapa tahun lalu. Bayinya meninggal di usia kandungan tujuh bulan dan dimakamkan di atas makam sang eyang.

[Gambas:Video CNN]

Namun waktu itu, keputusan dilakukan atas kesepakatan keluarga.

“Karena masih keluarga sendiri, kami izinkan ditumpuk. Rasanya lebih tenang,” katanya.

Berbeda dengan anak keduanya, Ziya, yang meninggal pada 2024 lalu, dan dimakamkan di pemakaman khusus bayi di TPU Cipadu Insani. Di sana, sistemnya lebih tertata, keluarga bisa membeli liang lahat lebih dulu sebelum meninggal.

“Waktu itu setelah melahirkan, kami langsung daftar tiga petak untuk satu keluarga, saya, suami, dan anak yang baru lahir itu Ziya. Niatnya biar enggak bingung kalau nanti ada yang meninggal,” tutur Susanti.

“Bayar Rp3,5 juta per petak, dan tiap tahun kami bayar lagi Rp250 ribu buat perawatan kalau liang lahatnya sudah dipakai atau sudah meninggal supaya enggak ditumpuk dengan orang lain,” katanya.

Dia mengaku keputusan itu diambil karena trauma.

“Sekarang saya sadar, bahkan makam pun harus direncanakan dari jauh-jauh hari. Kalau enggak, bisa hilang atau ditumpuk tanpa izin. Saya enggak mau ngalamin itu lagi,” ujarnya pelan.

Lanjut kisahnya ke halaman berikut..

Kepadatan penduduk dan minimnya ruang terbuka membuat lahan pemakaman di Jakarta semakin terbatas. Dinas Kehutanan DKI Jakarta mencatat, tren makam tumpang meningkat setiap tahun karena keterbatasan ruang di TPU-TPU besar seperti Karet Bivak, Pondok Kelapa, dan Utan Kayu.

“Banyak keluarga ingin dimakamkan di TPU tertentu meskipun sudah penuh,” kata Ricky Putra, Kepala Seksi Pelayanan dan Perpetakan Makam DKI Jakarta.

Saat ini, ada setidaknya 16 TPU di Jakarta yang sudah tidak bisa lagi membuat petak baru. Sisanya, masih tersedia, namun jumlahnya semakin terbatas.

Akibatnya, sistem makam tumpang menjadi pilihan, entah dengan izin keluarga atau tanpa pemberitahuan. Peraturan Daerah DKI Nomor 3 Tahun 2007, setiap ahli waris wajib memperpanjang izin penggunaan tanah makam (IPTM) setiap tiga tahun.

Jika tidak diperpanjang, makam bisa ditumpang setelah melalui pertimbangan tertentu. Namun, praktik di lapangan sering kali jauh dari ideal. Banyak makam yang ditumpuk tanpa koordinasi, seperti yang dialami Suparman dan Susanti.

[Gambas:Infografis CNN]

Ketika mati pun harus berebut ruang

Jakarta kini dihadapkan pada ironi, bahkan kematian pun tak menjamin ketenangan. Di tengah keterbatasan ruang, harga tanah yang melambung, dan pengelolaan TPU yang belum tertata, liang lahat berubah menjadi ‘properti langka’ yang harus diamankan jauh sebelum ajal tiba.

Bagi Susanti dan keluarganya, membeli petak makam bukan lagi hal tabu, melainkan bentuk kesiapsiagaan.

“Sekarang saya enggak mau menunggu. Biar nanti kalau waktunya tiba, enggak bingung cari tempat,” katanya.

Sementara bagi Suparman, semua memang sudah terlambat. Dia hanya bisa berharap anaknya kini beristirahat dengan damai, meski jasadnya mungkin telah berbagi tanah dengan orang lain.

Jakarta, kota yang terus tumbuh ke atas, kini tak lagi punya cukup ruang untuk mereka yang telah tiada. Di antara gedung-gedung menjulang, tanah untuk mati pun semakin mahal dan semakin sempit.

[Gambas:Video CNN]



Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Exit mobile version