Syahdan berangkatlah Suratno (58) bersama sejumlah warga Desa Teluk Alur merambah hutan di Kapuas Hulu untuk mencari pohon kratom. Kala itu, pertengahan 2004, masyarakat Teluk Alur kedatangan orang Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mencari daun kratom untuk memenuhi kebutuhan eksportir.
Warga pun menyanggupi untuk mencarikan daun itu. Saat itu kratom tumbuh liar di belantara rimba Kalimantan. Pohon kratom tumbuh di tanah lembab, dekat dengan aliran air di dalam hutan. Suratno dan warga berhasil menemukan pohon kratom setelah bolak-balik masuk hutan raya.
Pohon kratom yang tumbuh di hutan ukurannya besar-besar. Tingginya bisa mencapai 30 meter. Suratno sampai harus memanjat pohon agar bisa memetik daunnya. Warga bahkan sampai harus menebang pohon agar bisa leluasa mengambil daunnya.
“Cara mencarinya macam-macam, sampai kita tebang dulu, karena dulu di rimba itu besar-besar pohonnya,” kata Suratno di rumahnya, Desa Teluk Aur, Kabupaten Kapuas Hulu, pada akhir November 2023.
Mereka lalu mengumpulkan daun-daun kratom yang dipetik warga dari hutan. Saat itu harga daun kratom dipatok Rp8.000 sampai Rp12.000 per kilogram (kg).
“Belum ada sistem cara tahapan-tahapan bagaimana, pokoknya asal ada barang ditimbang, ada uangnya sesuai dengan apa yang dikerjakan,” ujarnya.
Perjumpaan Suratno dengan pengepul kratom dari luar daerah itu menjadi momentum sekaligus cikal bakal transformasi mata pencarian warga yang sebelumnya lebih banyak berladang di perkebunan karet dan sawit.
Foto: (CNN Indonesia/Hamka Winovan)
Suratno, Kepala desa Teluk Aur, Kapuas Hulu, Kalimatan Barat.
|
Suratno dan warga sejak itu mencari tahu cara budi daya tanaman kratom agar tak perlu bolak-balik masuk belantara hutan untuk memenuhi pesanan.
Warga belajar budi daya dengan cara mengolah bunga kratom untuk dijadikan benih. Melihat pohon kratom tumbuh di tanah lembab dan dekat aliran air di dalam hutan, Suratno dan warga mencoba menanamnya di lahan sekitar bantaran Sungai Kapuas.
“Jadi kita coba, karena di pesisir air ada pasang surutnya, berarti otomatis, tanah yang di pesisir Pantai Kapuas posisi tanahnya basah. Jadi secara logika kita mungkin bisa dibudidaya di pantai (tepi) Kapuas,” katanya.
Suratno dan warga Tegal Alur mulai berbudi daya perkebunan kratom di bantaran Sungai Kapuas pada 2007. Pohon tersebut ternyata mudah tumbuh dan berkembang subur. Pohon itu tak mati meski terendam air.
Seiring waktu, permintaan kratom dari pengepul luar daerah terus mengalir. Sejak itu pula banyak warga ikut beralih budi daya tanaman kratom. Kratom pun lambat laun menjadi mata pencarian utama warga desa. Seperti Suratno, warga perlahan meninggalkan komoditas karet yang harganya terus anjlok.
“Karena untuk menambahkan perekonomian, jadi Alhamdulillah, berhasil juga tanaman yang kita tanam di pesisir Pantai Kapuas,” ujarnya.
Pohon kratom kini sudah memenuhi lahan-lahan masyarakat Kapuas Hulu yang berada di bantaran Sungai Kapuas. Tak hanya warga Desa Teluk Aur yang membudidayakan tanaman tersebut, tetapi juga masyarakat yang tinggal di sekitar daerah aliran sungai Kapuas.
Suratno kini menjadi Kepala Desa Teluk Aur. Jumlah penduduk desa ada sekitar 1.056 jiwa atau 353 kepala keluarga (KK). Mayoritas warga bertani kratom.
“Yang budi daya atau yang petani kratom ini, sekitar 235 KK. Kemarin kami sudah mengambil data bahwa petani kita, yang ditanam ini, sekitar 3.000 lebih kratom yang di Desa Teluk Aur saja. Itu 200 lebih KK tadi yang budi daya,” katanya.
Berlanjut ke halaman berikutnya…
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA