Jakarta, CNN Indonesia —
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan ‘penyakit’ birokrasi di Papua yang menjadi hambatan serius dalam mengoptimalkan pendapatan daerah hingga berpotensi memicu korupsi. Satu di antaranya pengangkatan aparatur sipil negara (ASN) karena hubungan kedekatan.
“Ada patologi birokrasi atau penyakit birokrasi di Papua di mana aparatur sipil negaranya diangkat karena kedekatan, nepotisme kekeluargaan. Itu sangat kental di wilayah Timur, bukan karena jual beli jabatan, celakanya, kedekatan itu berpotensi menghasilkan SDM yang tidak kompeten,” ujar Kepala Satgas Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK Wilayah V Dian Patria saat dikonfirmasi, Jumat (5/7).
Hal tersebut disampaikan Dian usai menggelar rapat koordinasi Monitoring Center for Prevention (MCP) dengan jajaran Pemerintah Daerah (Pemda) se-Papua Barat Daya dan pendampingan lapangan di Kota Sorong serta dalam rapat koordinasi pencegahan korupsi di Kejaksaan Republik Indonesia (Kejari) wilayah Sorong.
Saat terjun ke lapangan, tim gabungan Satgas Korsup Pencegahan dan Penindakan KPK menemukan dugaan praktik suap dan gratifikasi oleh pegawai Bappenda Kota Sorong dari wajib pajak dengan nilai Rp130 juta setiap bulan. Diduga praktik tersebut telah berlangsung lama hingga menimbulkan kebocoran pendapatan daerah yang signifikan.
“Jelas-jelas ini masuk gratifikasi, tapi yang bersangkutan malah dipertahankan di Bappenda karena ada unsur kedekatan, sehingga kalau kita lihat, postur APBD Kota Sorong itu pendapatan daerah yang berasal dari pajak hanya masuk 5,13 persen saja tapi belanja pegawainya mencapai 41,23 persen,” ungkap Dian.
“Sementara kota-kota besar di Timur itu sudah masuk 2 digit untuk persentasenya dengan belanja pegawainya di bawah 30 persen, sehingga kami turut mendorong peningkatan pendapatan pajak daerah Kota Sorong untuk naik ke 2 digit,” tambahnya.
Tidak hanya itu, lanjut Dian, nepotisme juga membawa efek domino bagi wilayah Timur. Ia menyatakan banyak aset seperti kendaraan dan rumah dinas yang akhirnya dikuasai oleh pejabat karena merasa sudah berjasa secara turun temurun untuk daerah.
Penguasaan aset tersebut dilakukan dengan berbagai modus seperti tidak melakukan pengembalian aset saat pensiun, pinjam pakai, hibah, ‘hilang’, ‘jual beli’, ‘rusak berat’, dipakai di luar kota, dibawa serta pada saat mutasi/pindah pemda, hingga diubah kepemilikan atas nama pribadi.
Dian mengatakan temuan tersebut seharusnya menjadi tamparan keras bagi sistem birokrasi di Papua. Pasalnya, nepotisme dan kompetensi ASN yang kurang mampu membuka celah bagi perilaku lancung serta berakibat pada kerugian keuangan negara dan menghambat pembangunan daerah.
Berdasarkan data KPK, Survei Penilaian Integritas (SPI) 2023 Kota Sorong masuk dalam kategori rentan dengan skor 58,20 poin (nilai rata-rata nasional 70.97 poin). Bahkan, skor MCP di tahun yang sama berada di zona kuning dengan capaian 39,76 poin dari skala 0-100.
Penguatan SDM dan perbaikan sistem jadi kunci
Dian mengungkapkan kondisi tersebut di atas diperparah dengan sistem yang tertinggal hingga jaringan internet yang tidak memadai. Saat melakukan pendampingan pemda ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kota Sorong, tim Korsup KPK menemukan sistem aplikasi yang digunakan untuk pembayaran pajak dan retribusi (Sicantik Cloud) tidak dapat diakses imbas data PDN yang diretas.
“Sehingga seluruh pembayaran wajib pajak jadi terhambat,” kata Dian.
Padahal, sebelumnya, KPK sudah melakukan pendampingan pemda dengan wajib pajak yang menunggak untuk mendorong percepatan pembayaran pajak.
“Akibatnya, ketika aplikasi tidak bisa diakses, nomor billing tidak keluar, wajib pajak pun tidak bisa bayar. Tidak ada mitigasi, jadi bisa dihitung berapa banyak potential loss, pasti ada potensi korupsi juga di sana, apalagi jika pembayaran dilakukan secara tunai saat sistem error,” jelas Dian.
Menurut dia, upaya pemberantasan patologi birokrasi di Papua harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Peningkatan kualitas ASN melalui sistem meritokrasi serta penerapan sistem yang transparan dan akuntabel juga menjadi kunci.
Dalam hal ini, KPK melalui Direktorat Korsup Wilayah V terus melakukan pendampingan dengan menerapkan pencegahan ofensif sehingga menimbulkan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi.
Di lain kesempatan, Inspektur Kota Sorong Ruddy L. Lalu, turut mengapresiasi kinerja tim KPK yang telah memberikan dampak positif bagi daerahnya. Salah satu dampaknya adalah percepatan pembayaran tunggakan pajak dan retribusi yang mandek sejak 2018.
Selama tiga hari terakhir, KPK dan pemda sudah menemui 11 wajib pajak (WP) yang menunggak dengan nilai tunggakan sebesar Rp5 miliar.
“Bersyukur bahwa sebagian besar punya niat baik untuk melakukan pembayaran setelah dilakukan pendampingan. Kita tidak bisa membiarkan terus tunggakan pajak, sambil menutup kekurangan pajak dan retribusi ini. Pemerintah kota butuh dana untuk pembangunan,” ucap Ruddy.
Ia menambahkan pihaknya akan berkomitmen untuk melakukan perbaikan sistem pajak dan retribusi untuk pelaku usaha di Kota Sorong, serta mencari opsi agar wajib pajak tetap bisa membayar pajak dan retribusi meski sistem sering terkendala.
Adapun KPK telah memberikan rekomendasi agar pembayaran pajak harus langsung masuk rekening Pemda supaya tidak terjadi kebocoran.
“Tentunya kami akan menghilangkan pembayaran pajak dan retribusi secara tunai seperti saran KPK,” kata Ruddy.
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA