Jakarta, CNN Indonesia —
Komisi Yudisial (KY) mengaku tak bisa menganulir putusan Mahkamah Agung (MA) terkait syarat usia calon kepala daerah meskipun hakim yang memutus perkara itu terbukti melanggar kode etik.
Hal itu disampaikan Anggota dan Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata dalam konferensi pers di Gedung KY, Jakarta, Kamis (4/7).
Mulanya, Mukti menanggapi perihal perkara ini yang dinilai terdapat aspek politis. Menurutnya, KY hanya berfokus pada aspek dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH). Hal itu, kata Mukti, yang menjadi batas kewenangan KY dalam memeriksa hakim.
“Jadi opini dan spekulasi yang di masyarakat terjadi itu akan bisa terjawab jika memang ada kaitannya dengan pelanggaran KEPPH,” ujar Mukti.
“Untuk kasus ini, tim pengawasan hakim melakukan penanganan dengan meminta keterangan beberapa pihak untuk melihat ada pelanggaran etik di balik putusan tersebut atau tidak,” sambung Mukti.
Mukti menjelaskan bahwa putusan hakim itu memiliki kekuatan hukum. Hal itu selaras dengan sistem hukum dan peradilan yang berlaku di Indonesia.
“Apabila nantinya misalnya ada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Majelis Hakim, maka kewenangan KY hanya sampai memeriksa bahkan mungkin juga sampai memberi sanksi kalau memang terbukti bersalah kepada Majelis Hakim. Tetapi putusannya tetap berlaku. Ini bukan kewenangan Komisi Yudisial ya,” jelas Mukti.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota KY Joko Sasmito juga memberikan keterangan senada terkait putusan hakim tersebut.
“Yang dilakukan oleh Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim tentang dugaan pelanggaran kode etik, walaupun memang putusan itu dugaan pelanggaran etiknya itu terbukti, tetapi Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangannya ya untuk katakanlah merubah dari putusan yang sudah diputus oleh Majelis Hakim,” tutur Joko.
Selain itu, Joko menjelaskan bahwa mengacu pada Peraturan KY Nomor 2 Tahun 2015, pihak yang pertama kali dilakukan pemeriksaan adalah pelapor, lalu saksi-saksi terkait hingga ahli.
Ia mengatakan pemeriksaan terhadap hakim terlapor dilakukan setelah laporan itu telah dinyatakan ada dugaan pelanggaraan yang cukup kuat untuk ditindaklanjuti.
“Kalau dugaan pelanggaran etiknya itu kuat, baru dilakukan pemeriksaan kepada para terlapor,” kata Joko.
“Jadi misalnya, kalau misalnya hasil pemeriksaan pendahuluan termasuk hasil pemeriksaan lanjutan itu dugaan pelanggaran etiknya itu tidak kuat atau dinyatakan tidak bisa ditindaklanjuti, biasanya tidak dilanjutkan pemeriksaan kepada para telapor,” sambung Joko.
Dalam perkara ini, KY mengatakan tim pengawasan hakim tengah melakukan penanganan dengan meminta keterangan beberapa pihak, termasuk ahli. Hal itu dilakukan untuk melihat apakah ada pelanggaran etik di balik pertimbangan putusan tersebut.
MA dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 mengabulkan permohonan Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda) terkait dengan minimal batasan usia calon kepala daerah.
MA menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016.
Oleh sebab itu, MA menyatakan bahwa pasal dalam PKPU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai “… berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pasangan calon terpilih”.
Pada akhir putusan-nya, MA juga memerintahkan KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020.
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA