Bisnis  

Memetik Pelajaran Berharga dari Rugi WIKA, Whoosh dan MRT Jakarta

Jakarta, CNN Indonesia

Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) Whoosh tak henti-hentinya diterpa masalah mulai dari awal pembangunan hingga sekarang beroperasi.

Jika ditelisik ke belakang, permasalahan yang menimpa proyek kebanggaan Presiden Jokowi itu sudah beberapa kali terjadi terkait pembiayaan, target beroperasi mundur, hingga membuat BUMN merugi.

Di awal pembangunannya, kereta cepat dilanda masalah pembiayaan, di mana Jokowi ingkar janji tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal dalam berbagai kesempatan, ia bolak-balik menekankan pembangunan kereta cepat tak sepeser pun menggunakan uang rakyat. Sebab, pembangunannya akan menggunakan dana anggota konsorsium dan pinjaman dari China.

Konsorsium yang dimaksud yakni PT Kereta Cepat Indonesia China atau KCIC yang di dalamnya ada gabungan BUMN Indonesia dan China. BUMN Indonesia yaitu Wijaya Karya, Jasamarga, Perkebunan Nusantara i, dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang membentuk PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Sedangkan dari China adalah Beijing Yawan HSR Co. Ltd.

“Kereta cepat tidak menggunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business,” kata Jokowi pada September 2015 lalu.

Namun kenyataannya pada 2021, Jokowi berubah haluan 180 derajat. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 ia justru memutuskan memberikan suntikan dana negara ke proyek ini. Suntikan dana negara diberikan melalui penyertaan modal negara (PMN) kepada KAI.

Masalah tak berhenti sampai di situ. Seiring berjalannya waktu, pembangunan KCJB ini mengalami pembengkakan biaya cukup besar. Berdasarkan perhitungan dan review BPKP pada 9 Maret 2022, pembengkakan biaya hanya US$1,17 miliar atau Rp17,64 triliun.

Tapi dalam review BPKP terbaru pada 15 September 2022, pembengkakan biaya itu naik US$273,03 juta menjadi US$1,449 miliar atau Rp21,74 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu per dolar AS).

Masalah lain soal pembangunan yang dilakukan serampangan. Salah satunya terjadi pada pembangunan pilar LRT yang dikerjakan oleh PT KCIC di KM 3 +800.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengatakan pembangunan pilar dilakukan tanpa izin dan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan. PUPR juga menilai pengelolaan sistem drainase dari pengerjaan proyek tersebut buruk karena tidak dibangun sesuai kapasitas.

Akibat masalah itu, proyek telah menimbulkan genangan air pada Tol Jakarta-Cikampek dan kemacetan pada ruas jalan tol. Karena itulah, Kementerian PUPR melalui Komite Keselamatan Konstruksi sempat menghentikan pembangunan kereta cepat.

Selanjutnya, target operasi yang mundur. Pembangunan kereta cepat yang berlangsung sejak 2016 ini, awalnya ditargetkan bisa selesai dan dioperasikan pada 2019. Namun, kereta cepat baru beroperasi per Oktober 2023.

Kini setelah kereta cepat resmi beroperasi, masalah baru terungkap. WIKA menyinggung proyek Kereta Cepat Whoosh yang dianggap merugikan perusahaan hingga Rp7,12 triliun.

Direktur Utama WIKA Agung Budi Waskito mengatakan tingginya beban bunga dan lainnya menjadi penyebab besar kerugian WIKA sepanjang 2023 oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang mengerjakan proyek kereta cepat.

WIKArugi Rp7,12 triliun sepanjang 2023. Kerugian bersih WIKA membengkak 11.860 persen dari kerugian Rp 59,59 miliar di tahun 2022.

Agung mengungkapkan,WIKA telah menggelontorkan dana yang cukup besar untuk proyek kereta cepat Jakarta – Bandung sebesar Rp 6,1 triliun. Selain itu juga ada dispute atau sengketa pembayaran senilai Rp 5,5 triliun.

“Memang paling besar karena dalam penyelesaian proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung, yang memang dari penyertaannya saja sudah Rp6,1 triliun, kemudian yang masih dispute atau belum dibayar sekitar Rp5,5 triliun sehingga hampir Rp12 triliun,” jelasnya saat apat bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (10/7).

Selain kereta cepat, pemerintah juga memiliki proyek transportasi lainnya yakni Mass Rapid Transit (MRT) . Proyek ini juga tak luput dari masalah meski kabarnya tak terdengar kencang seperti kereta cepat.

Biaya proyek MRT fase membengkak dari Rp22,5 triliun menjadi Rp25,3 triliun. Sebelumnya MRT sudah mendapatkan komitmen pinjaman dari Japan International Cooperation Agency (JICA) senilai Rp 22,5 triliun pada 2018 lalu.

Beberapa faktor penyebab pembengkakan biaya proyek MRT Fase II disebabkan perbedaan rencana jalur yang tadinya dari Bundaran HI – Kampung Bandan diteruskan hingga Ancol Barat sehingga jumlah stasiun yang dibangun juga lebih banyak.

Selain itu, harga material bangunan naik sebesar 50 persen sejak 2018, kelangkaan material semikonduktor, inflasi, hingga kenaikan harga minyak dan energi dunia.

Berkaca dari proyek Kereta Cepat Whoosh, pelajaran apa yang bisa diambil? Apa perbandingannya dengan MRT?

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan pelajaran yang biasa diambil adalah bahwa Kereta Cepat Jakarta-Bandung secara bisnis tidak feasible dijalankan dengan harga tiket saat ini. Tiket kereta cepat saat ini dibanderol Rp150 ribu – Rp600 ribu.

Ronny mengatakan harga tersebut terlalu mahal untuk jarak Jakarta-Bandung yang dekat. Belum lagi, banyak jalur lain ke Bandung dengan jarak tempuh 3-4 jam dengan harga yang tidak terlalu mahal.

“Artinya, studi kelayakan yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan komersial untuk proyek sekelas Whoosh sangatlah diperlukan sebagai pelengkap penting dari keinginan politik para elite atas sebuah megaproyek,” katanya kepada CNNIndonesia.com.

Lanjut ke halaman berikutnya…



Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Exit mobile version