Jakarta, CNN Indonesia —
Para ilmuwan di Univesity of Sydney dan Liverpool School of Tropical Medicine menemukan penawar racun terbaru untuk menangkal gigitan ular kobra.
Pengobatan antivenom yang ada saat ini bisa dibilang mahal dan tidak efektif mengobati nekrosis pada daging yang terkena gigitan.
Namun, para ilmuwan baru-baru ini berhasil melakukan terobosan dengan menemukan penangkal racun terbaru yang lebih murah. Hasil penelitian para ilmuwan mengemukakan bahwa heparin dapat digunakan kembali sebagai penangkal racun kobra yang murah.
“Penemuan kami dapat secara drastis mengurangi cedera mengerikan akibat nekrosis yang disebabkan oleh gigitan kobra – dan juga dapat memperlambat bisa, yang dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup,” kata Profesor Greg Neely, penulis studi dari Charles Perkins Centre dan Fakultas Sains di University of Sydney, mengutip Science Daily, Senin (22/7).
Dengan menggunakan teknologi penyuntingan gen CRISPR untuk mengidentifikasi cara-cara memblokir bisa kobra, tim yang terdiri dari para ilmuwan yang berbasis di Australia, Kanada, Kosta Rika, dan Inggris, berhasil menggunakan kembali heparin (pengencer darah yang umum digunakan) dan obat-obatan terkait dan menunjukkan bahwa obat-obatan tersebut dapat menghentikan nekrosis yang disebabkan oleh gigitan ular kobra.
“Heparin tidak mahal, tersedia di mana-mana dan merupakan Obat Esensial yang terdaftar di Organisasi Kesehatan Dunia. Setelah uji coba pada manusia berhasil, obat ini dapat diluncurkan dengan relatif cepat untuk menjadi obat yang murah, aman, dan efektif untuk mengobati gigitan ular kobra,” kata Tian Du, penulis utama studi ini.
Tim ini menggunakan CRISPR untuk menemukan gen manusia yang dibutuhkan oleh bisa ular kobra untuk menyebabkan nekrosis yang membunuh daging di sekitar gigitan. Salah satu target bisa yang dibutuhkan adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi molekul terkait heparan dan heparin, yang diproduksi oleh banyak sel manusia dan hewan.
Heparan berada di permukaan sel dan heparin dilepaskan selama respon imun. Strukturnya yang mirip berarti racun dapat mengikat keduanya. Tim peneliti menggunakan pengetahuan ini untuk membuat penawar racun yang dapat menghentikan nekrosis pada sel manusia dan tikus.
Tidak seperti antivenom yang ada saat ini untuk gigitan kobra, yang merupakan teknologi abad ke-19, obat heparinoid bertindak sebagai penangkal ‘umpan’. Dengan membanjiri lokasi gigitan dengan ‘umpan’ heparin sulfat atau molekul heparinoid terkait, penawar racun ini dapat mengikat dan menetralkan racun di dalam bisa yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Profesor Nicholas Casewell, Kepala Pusat Penelitian dan Intervensi Gigitan Ular di Liverpool School of Tropical Medicine, mengatakan gigitan ular tetap menjadi penyakit tropis yang paling mematikan dan juga terabaikan, dengan beban yang sangat berat bagi masyarakat pedesaan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
“Temuan kami sangat menarik karena antivenom yang ada saat ini sebagian besar tidak efektif melawan envenoming lokal yang parah, yang melibatkan pembengkakan progresif yang menyakitkan, melepuh dan/atau nekrosis jaringan di sekitar lokasi gigitan. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya fungsi anggota tubuh, amputasi dan kecacatan seumur hidup,” kata Nicholas yang juga terlibat dalam penelitian.
Gigitan ular membunuh hingga 138.000 orang per tahun, dengan 400.000 lainnya mengalami konsekuensi jangka panjang akibat gigitan tersebut. Meskipun jumlah korban gigitan ular kobra belum diketahui secara pasti, namun di beberapa wilayah di India dan Afrika, spesies kobra merupakan penyebab utama gigitan ular.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengidentifikasi gigitan ular sebagai prioritas dalam programnya untuk mengatasi penyakit tropis yang terabaikan. Organisasi ini telah mengumumkan tujuan ambisius untuk mengurangi beban global gigitan ular hingga setengahnya pada tahun 2030.
Neely mengatakan target tersebut hanya tinggal lima tahun lagi. Ia berharap obat penawar kobra baru yang mereka temukan dapat membantu perjuangan global untuk mengurangi kematian dan cedera akibat gigitan ular di beberapa kelompok termiskin di dunia.
Neely melakukan pendekatan sistematis untuk menemukan obat untuk mengobati racun yang mematikan atau menyakitkan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan CRISPR untuk mengidentifikasi target genetik yang digunakan oleh racun atau toksin di dalam tubuh manusia dan mamalia lainnya.
Kemudian menggunakan pengetahuan ini untuk merancang cara-cara untuk memblokir interaksi ini dan secara ideal melindungi manusia dari tindakan mematikan dari racun-racun ini. Pendekatan ini digunakan untuk mengidentifikasi penangkal racun ubur-ubur kotak oleh tim pada tahun 2019.
(tim/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA