Perlu Gerakan Kebudayaan dalam Mengatasi Judi


Jakarta, CNN Indonesia

Ketua DPD PDI-Perjuangan Jawa Timur Said Abdullah, mengatakan bahwa sejarah perjudian seiring, sejalan dengan peradaban manusia.

Meski dianggap kegiatan yang menyimpang di setiap peradaban, namun perjudian tak pernah musnah. Malah menjadi praktik hidup yang ada.

Sebab, perjudian sudah muncul pada fase Mesir Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan juga Tiongkok Kuno. Pada abad 15 perjudian berkembang secara terorganisir.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, beberapa negara di Eropa melegalkan lotre guna melokalisir perjudian, sekaligus menambah pendapatan kerajaan.

“Karena judi yang berkembang di abad 17, mengundang para matematikawan merumuskan teori tentang probabilitas untuk membaca algoritma judi,” kata Said dalam keterangannya dikutip Senin (15/7).

Said yang juga Ketua Banggar DPR RI melanjutkan, hal itu berbeda dengan di Indonesia yang bermain judi cenderung pendek pikir. Mereka banyak mengadu nasib perjudian dengan meminta wangsit di kuburan.

“Atau tempat-tempat yang dianggap keramat dengan harapan mendapatkan wangsit untuk menang judi,” ujar Said.

Tidak hanya itu, bahkan di masa pendudukan Belanda, judi dipakai untuk membiayai perang, dan memadamkan pemberontakan. Judi juga alat kolonial agar penduduk pribumi tidak kritis yang bisa membangkitkan perlawanan.

Cara ini juga ditempuh orde baru dengan Kegiatan Lotre Dana Harapan, yang dikelola oleh Yayasan Rehabilitasi Sosial. Padahal yayasan ini sudah ditutup pada 1965 oleh orde lama, namun dibangkitkan kembali oleh orde baru dan dinaungi di bawah Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), dengan demikian orde baru melegalkan perjudian.

“Kegiatan itu diatur oleh Menteri Sosial melalui Surat Keputusan Menteri Sosial RI No. B.A. 5-4-76/169. Hasil pendapatan perjudian digunakan untuk pembiayaan penanganan masalah masalah sosial. Namun masalah sosial juga tak bisa diselesaikan,” ujarnya.

Dalam perjalanannya orde baru belajar pengelolaan judi di Inggris dengan meluncurkan kupon porkas sepak bola sebagai bentuk baru perjudian di masa Orba.

Kegiatan ini mendapat protes sosial yang terus meluas dan membuat pemerintah orde baru merubah kebijakan perjudian. Orde baru memperhalus dan menyembunyikan perjudian yang dilegalkannya dengan istilah sumbangan sosial.

“Pada era tahun 1980-1990 an kita mengenal SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Banyak penjudi tergila gila mendapatkan hadiah dari perjudiannya melalui SDSB hingga Rp1 miliar. Angka yang sangat fantastis di era itu,” ujarnya.

Kegiatan ini kembali diprotes, bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk kegiatan SDSB. Pemerintah akhirnya menghentikan kegiatan SDSB pada tahun 1993.

Meski demikian, kegiatan perjudian masih berlangsung secara tersembunyi. Bahkan, perkembangan internet dalam sepuluh tahun terakhir juga menjadi wahana yang dimanfaatkan oleh penjudi.

“Internet menjadi fasilitas yang mempermudah kegiatan perjudian secara online. Apalagi smartphone dengan koneksi internet telah massif hingga ke pelosok desa,” katanya.

Menurutnya, judi online (Judol) telah menjelma bara dalam sekam. Dirjen Aptika Kominfo sendiri menyampaikan telah menutup paksa situs judol lebih dari dua juta situs.

“Namun bagai cendawan dimusim hujan, tumbuh kembali dengan fantastis. Penetrasi judol berdampak sosial massif. Kabarnya 70 persen perceraian di Cianjur, Jawa Barat ada kontribusi efek judol,” katanya.

Bahkan aparat TNI dan Polri juga terpapar judol. Seorang polwan membakar hidup-hidup suaminya yang juga polisi karena kegiatan judol.

Lebih heboh lagi, PPATK menyampaikan kegiatan judol juga ada di Gedung DPR, dan sedang di selidiki oleh Mahkamah Kehormatan DPR adanya dugaan anggota DPR terlibat judol.

Said mengamini, pemerintah memang telah membentuk Satgas Pemberantasan Judol. Ia pun berharap Satgas ini menghasilkan kerja nyata, bukan sekedar aksi gimmick.

“Hendaknya Satgas ini beroperasi massif secara hirarkis hingga bawah. Mustahil membersihkan kotoran dengan sapu yang kotor. Oleh sebab itu paling prioritas membersihkan aparat TNI, Polri dan birokrasi dari segala bentuk perjudian,” ujarnya.

Sebab, kata Said, pemberantasan judi tak bisa hanya mengandalkan kekuatan negara. Melainkan ada peran penting gerakan kebudayaan. Namun, gerakan ini hanya akan muncul jika Satgas menunjukkan komitmen kerja nyata.

“Kerja nyata dengan membuktikan penangkapan besar besaran para pemain judi yang melibatkan seluruh kepangkatan tinggi dari TNI, Polri dan birokrasi,” ujarnya.

Menurutnya, keteladanan ini akan membangkitkan kepercayaan rakyat sebagai bagian dari kekuatan semesta. Kekuatan semesta inilah fondasi gerakan kebudayaan untuk melawan dan menghindarkan diri dari seluruh kegiatan perjudian.

(inh)


Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Exit mobile version