Jakarta, CNN Indonesia —
Bukan hal yang aneh saat Universal Pictures berencana menghidupkan kembali film-film monster lawas mereka, termasuk The Wolf Man (1941) untuk bisa dinikmati oleh penonton pada masa kini.
Namun saya tak merasa Wolf Man (2025) menjadi sebuah reboot yang cukup kuat dibandingkan portfolio film 84 tahun tersebut, meskipun pada sebagian aspek, film teranyar memiliki beberapa poin lebih unggul.
Leigh Whannell selaku sutradara dan salah satu penulis jelas berusaha keras menjadikan kisah monster manusia serigala ini menjadi lebih humanis dengan menyisipkan hubungan ayah dengan anaknya.
Hal itu terlihat dari bagaimana Whannell membuat hubungan serupa-tapi tak sama antara Blake Lovell (Christopher Abbott) dengan ayahnya, Grady (Sam Jaeger), dan Blake dengan anaknya, Ginger (Matilda Firth).
Dua hubungan tersebut pun ditempatkan pada pembuka serta penutup, seolah menegaskan bahwa pesan utama yang ingin disampaikan Whannell dalam film ini adalah hubungan antara ayah dengan anak alih-alih teror manusia serigala yang beringas.
Sayangnya, bagi saya penuturan dan chemistry yang ada dalam kisah humanis tersebut kurang kuat dan menyentuh. Pada aspek tertentu, kisah yang dituturkan bahkan cenderung kering. Kisahnya memang ironis dan menyedihkan, tapi ada kehampaan emosi di dalam sana.
Review Film Wolf Man (2025): Leigh Whannell selaku sutradara dan salah satu penulis jelas berusaha keras menjadikan kisah monster manusia serigala ini menjadi lebih humanis dengan menyisipkan hubungan ayah dengan anaknya. (Blumhouse Productions via IMDb)
|
Meski begitu, saya tetap mengapresiasi Whannell yang masih menyelipkan kisah hubungan ayah dan anak ini, sama seperti saat ia mengembangkan kisah Insidious bersama James Wan.
Namun saya juga mempertanyakan, apakah kehambaran pesan humanis yang coba diangkat Whannell tersebut dipengaruhi dari chemistry para pemainnya yang sesungguhnya benar-benar hambar di depan layar.
Saya tak merasa ada keterikatan yang kuat antar pemain dan upaya yang jelas untuk membangun hal itu selain dari Matilda Firth. Firth seolah menjadi satu-satunya pemain yang memiliki jiwa dan emosi dalam film ini.
Jelas upaya aktris 10 tahun tersebut untuk menunjukkan seorang anak perempuan yang memiliki ikatan batin kuat dengan ayahnya tidaklah cukup untuk menyelamatkan pesan Whannell dan film ini.
Hal ini sebenarnya cukup mengherankan, mengingat Abbott dan Julia Garner –yang memerankan Charlotte selaku istri dari Blake– adalah aktor dan aktris yang mendapatkan nominasi penghargaan bergengsi seperti Golden Globe dan Emmy Awards.
|
Padahal, secara sinematografi, tata kostum dan rias, hingga desain produksi dari film ini terbilang niat. Begitu pula dengan efek visual serta tata suara yang saya bilang berjalan sangat mulus.
Permainan musik yang minimalis dan on-point dari Benjamin Wallfisch dan tim suara justru membantu suasana horor yang lebih merasuk. Wallfisch jelas memahami waktu yang tepat untuk memberikan efek scoring, dan kapan mengerem scoring dan membiarkan visual dan ceritanya yang berbicara.
Stefan Duscio sebagai sinematografer sangat membantu Whannell memvisualisasikan horor dalam gelap tanpa harus membuat saya memicingkan mata karena tak melihat apa pun. Duscio paham betul bagaimana suasana gelap bukan berarti tak melihat apa-apa.
Saya juga ingin memberikan salut kepada Andy Canny selaku editor dan tim efek visual yang dengan mulus juga cerdas memberikan sudut pandang berbeda dari sisi manusia serigala.
Canny dan tim jelas melakukan riset soal bagaimana hewan nokturnal seperti serigala melihat sekelilingnya, bagaimana mereka dalam mendengar yang kemudian diterjemahkan pada proses transformasi Blake. Tentu saja pada aspek itu, saya kembali memberikan salut kepada tim musik dan suara.
Tim tata rias juga tampil dengan baik menunjukkan bagaimana menggambarkan manusia serigala berdasarkan kisah-kisah rakyat dan mitologinya, bukan hanya sekadar menempelkan banyak bulu dan prostetik moncong serigala ke aktor.
Hal-hal teknis inilah yang saya lihat tak dimiliki dalam versi The Wolf Man (1941). Wolf Man (2025) jelas memanfaatkan dengan betul perkembangan teknologi dan pengetahuan dalam menyampaikan kisah manusia serigala di dunia modern.
Namun kembali lagi, yang mampu membuat penonton hanyut dalam film adalah ceritanya. Hal ini yang rasanya masih jadi batu besar yang belum bisa dipecahkan oleh Wolf Man (2025), terlepas dari konsep hingga teknis yang sudah mantap.
[Gambas:Video CNN]
(end)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA