Jakarta, CNN Indonesia —
Pakar keamanan siber mengungkap serangan yang menargetkan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 di Surabaya tergolong aksi terorisme siber. Simak penjelasannya.
“Serangan ransomware dari kelompok peretas Brain Cipher dipastikan tergolong tindakan terorisme siber,” kata Deputy of Operation Indonesia Security Incident Response Team on Internet and Infrastructure (CSIRT) MS Manggalany, dalam keterangannya, Jumat (5/7).
Namun begitu, apabila pemerintah ingin menetapkan serangan ini sebagai aksi terorisme siber, maka hal ini perlu dikaji secara mendalam dengan melibatkan para praktisi keamanan siber dan pakar terorisme, serta persetujuan DPR RI.
Menurutnya serangan siber jenis ransomware adalah salah satu modus utama serangan terorisme siber. Pasalnya, tujuan terror dan keuntungan ekonomi penyerang dapat sekaligus dicapai dalam satu kali aksi.
Manggalany memaparkan, berdasarkan Peraturan Presiden No 82 Tahun 2022 tentang Perlindungan Infrastruktur Informasi Vital, PDNS 2 termasuk dalam definisi infrastruktur vital. Pasalnya, PDNS 2 diisi oleh ribuan aplikasi pelayanan publik yang ditujukan untuk kepentingan umum, yang diselenggarakan oleh 282 instansi pemerintah, baik kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah.
Oleh karena itu, gangguan dalam bentuk apa pun, kerusakan dan atau kehancuran yang dialami oleh infrastruktur informasi vital PDNS 2 ini dapat dikategorikan sebagai serangan terstruktur atau aksi teror terhadap pemerintah atau negara.
Menurut Manggalany, definisi terorisme siber berbeda dengan kejahatan siber (cyber crime) dan masih terus berkembang dan dinamis mengikuti perubahan motivasi, modus, jenis target, dan dampak dari berbagai serangan siber. Namun, terorisme siber setidaknya harus memenuhi enam unsur, yakni aktor, motivasi, tujuan, sarana, dampak, dan korban.
Unsur pertama, aktor pelaku baik aktor yang bukan didukung oleh inisiatif negara, aktor yang didukung oleh inisiatif negara dan bisa dianggap sebagai pernyataan perang, dan aktor yang berafiliasi dengan kelompok separatis.
Unsur kedua adalah motivasi, baik ideologis, sosial, ekonomi atau politik. Menurutnya seringkali motivasi ini menjadi kombinasi kepentingan, karena dalam berbagai kasus, sebuah serangan siber dengan alasan terorisme, dilakukan oleh kelompok profesional yang punya motif dan tujuan ekonomi kriminal siber biasa.
Unsur ketiga adalah tujuan, apakah tujuannya untuk alat kampanye memaksakan tuntutan perubahan, keyakinan/ideologis tertentu, dan gangguan sebagai alat untuk memenuhi motivasi tertentu.
Unsur keempat adalah sarana berupa ancaman siber, serangan siber, propaganda siber, dan lain sebagainya.
Unsur kelima, dampak yang diharapkan oleh si kelompok penyerang berupa cyber power dan cyber violence, berupa disrupsi layanan digital publik, kebocoran data, kerugian ekonomi, ancaman psikologis ketakutan, ketidakpastian, dan keraguan, hingga kerusakan fisik.
Unsur keenam, menurut Manggalany, adalah korban, baik kelompok masyarakat sipil, swasta, industri, organisasi, pemerintah, dan non-pemerintah, penyelenggara infrastruktur digital maupun fisik.
Menurut Manggalany, pemerintah harus memetakan motivasi dari serangan siber apabila ingin menetapkan sebagai tindakan terorisme, yakni mengungkap apakah ada kepentingan ideologi atau politik dan ekonomi sekaligus.
“Serangan siber jenis ramsomware adalah salah satu modus utama serangan terorisme siber dimana tujuan teror dan keuntungan ekonomi penyerang dapat sekaligus dicapai dalam satu kali aksi. Apalagi secara teknis, serangan ransomware ke PDNS 2 sudah memenuhi semua kriteria unsur terorisme siber,” tegas dia.
Dia menegaskan, apabila sang pelaku memiliki motivasi ideologi dan politik atas serangannya, maka pemerintah memiliki tantangan baru, mengingat sesuai UU tentang terorisme, penanganan terorisme dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang belum memiliki kemampuan kontra terorisme siber, termasuk pengampu serta penyelenggara layanan di semua sektor infrastruktur vital, termasuk PDNS 2, belum memiliki protokol kontra terorisme siber.
“Perlu ditegaskan bahwa manajemen krisis siber untuk mengatasi serangan terorisme siber berbeda dengan prosedur protokol untuk merespons aksi kriminal siber biasa. Penindakan atas terorisme siber bisa penegakan hukum sekaligus protokol retaliasi, dimana BNPT bisa melakukan serangan ofensif terhadap aktor teroris dan sumber dayanya,” pungkasnya.
Sebelumnya, PDNS 2 di Surabaya mendapat serangan siber dari kelompok ransomware gang Brain Cipher sejak 20 Juni, dan sampai saat ini belum sepenuhnya pulih.
Serangan ransomware itu mengakibatkan terkuncinya data-data di dalam sistem PDNS 2. Sebagian besar data di pusat data yang dipakai 282 institusi pemerintah pusat dan daerah itu pun terkunci dan belum bisa dipulihkan sampai saat ini.
[Gambas:Video CNN]
(tim/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA