Spesies Jamur Baru Muncul di China, Ilmuwan Sebut Pertanda Buruk


Jakarta, CNN Indonesia

Para ilmuwan menemukan spesies jamur yang belum pernah dilihat pada manusia sebelumnya. Suhu yang lebih hangat disebut bisa memicu evolusi jamur menjadi lebih ngeri.

Hal itu diungkap para ilmuwan di China dalam studi soal patogen jamur yang sebelumnya tidak diketahui yang dapat menginfeksi manusia yang diterbitkan di jurnal Nature Microbiology pada 19 Juni.

Para ilmuwan mengungkap penemuan ini setelah memeriksa sampel jamur dari pasien di 96 rumah sakit di seluruh China antara 2009 dan 2019.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara keseluruhan, ada 27.100 jenis jamur yang dikumpulkan dan dianalisis. Dari jumlah tersebut, hanya R. fluvialis yang belum pernah terlihat pada manusia sebelumnya.

Jamur yang disebut Rhodosporidiobolus fluvialis itu ditemukan pada sampel klinis dari dua pasien rumah sakit yang tidak berkaitan.

Selain terinfeksi jamur, kedua pasien itu juga memiliki kondisi kesehatan serius.

Satu pasien berusia 61 tahun yang meninggal di unit perawatan intensif (ICU) di Nanjing pada 2013. Ia menderita imunosupresi. Pasien lainnya berusia 85 tahun yang meninggal pada 2016 setelah dirawat di ICU di Tianjin. Pasien ini menderita diabetes.

Laporan tersebut tidak mencatat apakah infeksi jamur secara langsung berkontribusi terhadap kematian pasien atau mereka hanya terinfeksi pada saat itu.

Efek pemanasan global

Dalam percobaan mereka, para peneliti menemukan bahwa ragi resisten terhadap beberapa obat antijamur lini pertama pada suhu yang lebih tinggi, sekitar suhu tubuh manusia.

Suhu ini juga menimbulkan “mutan hipervirulen” yang mampu menyebabkan penyakit lebih parah pada tikus percobaan.

Dalam studi baru ini, para peneliti membuat sakit tikus yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh dengan R. fluvialis. Hasilnya, beberapa sel jamur berevolusi dengan cepat dan tumbuh lebih agresif.

Tim kemudian mengamati jamur di piring laboratorium yang disimpan pada suhu tubuh manusia – 98,6 derajat Fahrenheit (37 derajat Celsius). Pada suhu tersebut, ragi bermutasi 21 kali lebih cepat dibandingkan pada suhu kamar, sekitar 77 derajat F (25 derajat C).

Panas juga membuat R. fluvialis lebih mungkin menjadi resistan terhadap obat. Ketika terkena obat antijamur amfoterisin B, ragi mengembangkan resistensi lebih cepat pada suhu tubuh dibandingkan pada suhu kamar.

Jika ragi seperti R. fluvialis lebih cenderung menjadi ganas dan resistan terhadap obat pada suhu tinggi, pemanasan global pun berpotensi mendorong evolusi patogen jamur baru yang berbahaya, tulis tim tersebut dalam makalah tersebut.

Temuan ini, menurut para peneliti dikutip dari LiveScience, “mendukung gagasan bahwa pemanasan global dapat mendorong evolusi patogen jamur baru.” 

Pertanda buruk?

Khusus mengenai R. fluvialis, beberapa ilmuwan mendukung dengan sebagian lainnya menentang kesimpulan yang merisaukan itu.

“Ini adalah temuan yang luar biasa dan benar-benar tidak terduga, yang menjadi pertanda buruk bagi masa depan,” kata David Denning, profesor penyakit menular di University of Manchester, Inggris, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan kepada Science.

Sementara, Matthew Fisher, profesor epidemiologi penyakit jamur di Imperial College London yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan ragi tidak boleh dilihat sebagai ancaman besar yang muncul.

“Perasaan pertama saya di sini adalah bahwa ada lingkungan yang belum pernah disurvei di China tempat tinggalnya jamur ini, dan kedua pasien ini kurang beruntung karena bisa tertular,” kata dia.

Singkatnya, tidak ada bukti R. fluvialis menyebar luas ke masyarakat, meskipun ciri-cirinya mengkhawatirkan.

[Gambas:Video CNN]

(tim/arh)


Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Exit mobile version