Surabaya, CNN Indonesia —
Warga Kota Surabaya, Jawa Timur, hingga Bali merasakan hawa dingin di malam hingga pagi hari. Hal ini disebut terkait fenomena bediding alias dingin di musim kemarau.
Salah satu warga Nginden, Surabaya, Ade Resty mengaku merasa Surabaya tetap sejuk meski sudah siang hari. Ini berbeda dari Surabaya biasanya yang melulu panas.
“Sejuk, dingin, nyaman dan enak, enggak kayak biasanya sumuk (gerah), panas, di kos itu aku sampai tidur di lantai ,” kata dia, Senin (15/7).
Hal yang sama juga dialami warga Tambaksari, Surabaya, Andhi Dwi. Ia mengaku lebih nyaman dengan cuaca Surabaya belakangan.
“Lebih nyaman begini, biasanya panas dan gerah,” kata Andhi.
Senada, suhu dingin malam hingga pagi terjadi di Bali. Berdasarkan data empat stasiun pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Bali pada 1 hingga 10 Juli, ada sejumlah catatan suhu udara minimum terendah.
Pertama, pada 3 Juli, yakni 24,9 derajat Celsius, di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai dan Stasiun Geofisika Denpasar. Kedua, pada 1 Juli dengan suhu 23 derajat C di Stasiun Geofisika Denpasar.
Pada 7 dan 9 Juli, ada catatan suhu 19 derajat C di Pos Pengamatan di Karangasem; dan 6 Juli di Stasiun BMKG Negara, Bali, dengan suhu 21,4 derajat C.
Meski begitu, Koordinator Bidang Data dan Informasi BMKG Wilayah lll Denpasar I Nyoman Gede Wiryajaya menyebut catatan suhu minimum di wilayahnya itu belum masuk kategori ekstrem.
“Jika dibandingkan dengan nilai normalnya pada masing-masing lokasi masih pada batasan normal. Suhu udara masuk dalam kategori esktrem apabila terdapat selisih 3 derajat C dari nilai normal setempat,” kata dia, dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/7).
Nyoman pun menyebut kondisi udara dingin ini adalah fenomena normal dan tak berbahaya.
“Kesimpulannya, kondisi suhu udara dingin yang berlangsung saat ini di wilayah Bali merupakan kondisi yang normal tiap tahunnya sehingga tidak ada bahaya yang perlu dikhawatirkan,” ujarnya.
Faktor awan hingga Matahari
Ketua Tim Meteorologi BMKG Juanda, Jatim, Shanas Prayuda mengatakan fenomena itu disebut sebagai bediding di musim kemarau.
“Fenomena bediding adalah suhu dingin pada malam hingga pagi hari, biasanya terjadi saat puncak musim kemarau,” kata dia.
Shanas menyebut fenomena bediding biasanya terjadi saat puncak musim kemarau di bulan Juli-Agustus. Hal ini tak terjadi di seluruh Jawa Timur.
“Fenomena ini terjadi saat angin dominan dari arah timur yang membawa massa udara dingin dan kering dari Australia ke Indonesia,” ucapnya.
Shanas mengungkit penyebab pertamanya, yakni kondisi langit yang cenderung cerah tanpa awan.
“Kondisi tersebut menyebabkan radiasi Matahari yang diterima Bumi lebih besar sehingga suhu Udara meningkat drastis di siang hari,” terangnya.
“Sehingga panas Bumi dilepaskan Kembali ke atmosfer dengan cepat sehingga udara menjadi lebih dingin,” jelas dia.
Nyoman menambahkan sejumlah faktor lain yang memicu suhu udara yang lebih dingin dari biasanya itu. Yakni, peredaran semu Matahari.
Sejak 21 Juni, posisi semu tahunan Matahari berada di titik balik utara, yakni 23,5 derajat lintang utara. Hal ini menyebabkan belahan Bumi utara (BBU) mengalami musim panas sedangkan belahan Bumi selatan (BBS) mengalami musim dingin.
Sementara, Pulau Bali terletak di sebelah selatan khatulistiwa. Kondisi ini membuat Pulau Dewata defisit sinar Matahari.
Di saat yang sama, permukaan Bumi memerlukan waktu untuk melepaskan energi panas yang diterima dan diserapnya saat mengalami surplus penyinaran Matahari.
Oleh karena itu, jelas Nyoman, suhu udara minimum terendah terjadi setelah Juli dan Agustus.
“Penyebab utamanya adalah gerak semu tahunan matahari yang mengakibatkan terjadinya monsun Australia dan berdampak pada parameter cuaca lainnya termasuk suhu udara,” tutur dia.
Penyebab ketiga, angin monsun Australia. Saat ini, Benua Australia yang berada di BBS sedang masuk musim dingin dan mengalami defisit sinar Matahari. Di sisi lain, Benua Asia yang berada di BBU akan mengalami surplus sinar Matahari dan terjadi musim panas.
Sesuai dengan hukum fisika, kata dia, temperatur udara yang rendah memiliki tekanan udara tinggi, sementara suhu udara yang tinggi akan memiliki tekanan udara rendah.
Selain itu, sifat dari fluida adalah mengalir dari daerah tekanan udara tinggi menuju ke daerah tekanan udara rendah. Walhasil, terjadilah aliran udara dari Benua Australia menuju ke Benua Asia, yang disebut sebagai angin monsun Australia.
“Akibat pengaruh gaya coriolis (atau gaya akibat rotasi Bumi) mengakibatkan angin yang bertiup dari Benua Australia tersebut berbelok ke arah kanan menuju Benua Asia pada saat menuju khatulistiwa,” urai Nyoman.
“Yang menyebabkan Indonesia secara khususnya wilayah Bali mengalami musim kemarau. Hal ini disebabkan karena angin yang bertiup banyak berasal dari daerah gurun pasir yang bersifat kering di bagian utara Australia dan juga melewati laut yang sempit.”
“Oleh karena itu, uap air yang dibawa oleh angin ini dalam jumlah sedikit dan berdampak pada berkurangnya curah hujan di wilayah Bali,” lanjutnya.
Penyebab keempat, kata dia, dampak musim dingin Australia. Udara kutub yang dingin berhembus ke arah Australia dan membentuk sel-sel tekanan tinggi. Massa udara polar yang bersifat dingin dan kering turut terbawa dalam perjalanan monsun Australia saat melewati wilayah Bali.
Adanya sel-sel tekanan tinggi yang terbentuk di Benua Australia tersebut menimbulkan terjadinya perbedaan atau gradient tekanan yang signifikan dibandingkan dengan daerah di sekitarnya.
Hasilnya, peningkatan kecepatan aliran yang dirasakan sebagai peningkatan kecepatan angin atau angin kencang.
“Angin yang bersifat kering, dingin, dan memiliki kecepatan yang lebih tinggi tersebut, mengakibatkan proses pendinginan permukaan bumi khususnya pada malam dini hari berlangsung cepat sehingga terjadi penurunan suhu permukaan yang signifikan dan terasa sebagai suhu dingin,” tandas Nyoman.
[Gambas:Video CNN]
(frd/kdf/arh)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA