Jakarta, CNN Indonesia —
Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran tahun 2025 dianugerahkan kepada tiga imunolog atas terobosan mereka dalam mengungkap mekanisme perlindungan yang mencegah sistem imun tubuh menyerang jaringannya sendiri. Penelitian ini dianggap sebuah penemuan fundamental yang membuka jalan baru bagi pengobatan kanker dan penyakit autoimun.
Ketiga pemenang itu adalah Mary E. Brunkow (AS), Fred Ramsdell (AS), dan Shimon Sakaguchi (Jepang). Pengumuman ini disampaikan oleh Majelis Nobel di Institut Karolinska Swedia pada Senin (6/10). Mereka berbagi hadiah uang tunai sebesar 11 juta Krona Swedia (sekitar Rp19,4 miliar).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melansir The Guardian pada Selasa (7/10), ketiga peneliti diakui atas penemuan mereka mengenai toleransi imun perifer (peripheral immune tolerance). Penemuan ini membeberkan bagaimana sistem kekebalan yang kuat dan vital harus diatur agar tidak menyerang organ tubuh sendiri, kondisi yang dikenal sebagai penyakit autoimun.
Mereka berhasil mengidentifikasi penjaga keamanan sistem imun, yaitu sel T regulator, yang berfungsi sebagai rem atau pengawas untuk menjaga sel-sel imun lainnya agar tetap seimbang dan tidak menyerang tubuh inangnya.
Hal ini penting karena sel T tidak boleh menyerang jaringan sehat tubuh, karena dapat menyebabkan penyakit autoimun seperti diabetes tipe 1 dan multiple sclerosis. Pada akhir tahun 1980-an, diketahui bahwa sel T yang berbahaya dieliminasi di organ yang disebut kelenjar timus, tempat sel T yang sedang berkembang bermigrasi untuk matang.
Sakaguchi mengungkap mekanisme kedua di mana toleransi diri terbentuk, menunjukkan bahwa sel T berbahaya dapat dieliminasi oleh sel T matang yang membawa protein di permukaannya yang disebut CD25. Sel-sel ini kemudian dikenal sebagai sel T regulator.
Sementara itu, Brunkow dan Ramsdell menambahkan kepingan penting dari teka-teki tersebut. Pada tahun 2001, mereka menemukan bahwa tikus dengan kelainan autoimun parah yang disebut scurfy memiliki mutasi pada gen yang mereka namai Foxp3.
Brunkow dan Ramsdell kemudian menunjukkan bahwa anak-anak dengan mutasi pada gen yang sama rentan terhadap kondisi autoimun langka yang parah, yang dikenal sebagai sindrom IPEX.
Sakaguchi kemudian menghubungkan penemuan-penemuan ini, menunjukkan bahwa gen Foxp3 adalah pengendali utama yang mengatur perkembangan sel T regulator yang ia temukan. Dengan kata lain, kerusakan pada Foxp3 menyebabkan kegagalan fungsi sel T regulator, yang memungkinkan sistem imun berbalik menyerang tubuh.
Profesor Adrian Liston, imunolog dari Universitas Cambridge mengatakan sel T Regulator pada dasarnya adalah rem sistem kekebalan tubuh. Ia mengungkap sel T regulator mencegah autoimun dan alergi.
“Dan bagian lain dari sistem ini adalah bahwa dengan adanya sistem rem yang kuat, kita dapat memiliki respons imun yang lebih kuat dan cepat – sama seperti mobil yang dapat memiliki akselerator yang lebih baik jika memiliki rem yang baik,” kata Liston.
“Ini benar-benar bagian yang esensial dari sistem kekebalan tubuh, dan dapat menyebabkan penyakit fatal pada masa kanak-kanak jika sistem ini rusak,” lanjut dia.
Sementara itu, Profesor Marie Wahren-Herlenius, imunolog dari Karolinska Institute, mengatakan bahwa penelitian ini sangat penting karena kini telah menginspirasi uji klinis yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah sel T regulator untuk untuk menekan reaksi imun yang tidak diinginkan dalam pengobatan penyakit autoimun atau setelah transplantasi organ.
“Sel kanker dapat memanfaatkan sel T regulator kita untuk menghindari reaksi imun yang dapat menghancurkan sel kanker,” ujarnya.
“Oleh karena itu, fokus pengobatan kanker adalah pada penekanan atau penghancuran sel T regulator agar sistem imun kita dapat bertindak melawan sel-sel ganas,” lanjut dia.
(dmi/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA