Jakarta, CNN Indonesia —
Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump disebut bakal mengutak-atik kebijakan mengenai teknologi kecerdasan buatan (AI). Trump menjadikan pengembangan AI sebagai salah satu fokus utama pemerintahannya.
Dalam langkah strategis ini, ia menggandeng Elon Musk, pemilik media sosial X dan kritikus regulasi pemerintah, untuk memimpin reformasi besar-besaran di sektor ini.
Trump berencana mencabut perintah eksekutif Presiden Joe Biden terkait pengelolaan risiko keamanan nasional AI dan pencegahan diskriminasi dalam sistem AI. Dokumen Partai Republik menyebut aturan tersebut sebagai “ide radikal sayap kiri” yang dianggap menghambat inovasi.
Para ahli teknologi memperingatkan bahaya jika AI berkembang tanpa pengawasan ketat. Sandra Wachter, profesor di Oxford Internet Institute, menegaskan diskriminasi adalah salah satu dampak utama AI yang tak terkontrol.
AI sering mereplikasi bias manusia, seperti prasangka terhadap ras atau gender, karena dilatih menggunakan data historis. Hal ini dapat berdampak diskriminatif dalam pengambilan keputusan penting seperti perekrutan tenaga kerja atau pemberian kredit.
“Bias melekat pada teknologi tersebut karena mereka melihat data historis untuk mencoba memprediksi masa depan. Mereka mempelajari siapa yang pernah dipekerjakan di masa lalu, siapa yang pernah dipenjara di masa lalu,” ujar Wachter, melansir CNN, Selasa (19/11).
Andrew Strait dari Ada Lovelace Institute menyoroti bahaya penggunaan AI dalam kepolisian prediktif. Data historis yang mencerminkan praktik over-policing bisa memperkuat perhatian berlebihan terhadap komunitas tertentu, memperburuk ketidakadilan sosial.
Disinformasi dan ancaman eksistensial
Kemampuan AI menciptakan konten palsu meningkatkan risiko penyebaran disinformasi. Contoh nyata terjadi dalam pemilu AS, ketika di gambar palsu dan robocall yang menggunakan suara tiruan presiden menyebar luas.
AI juga dapat digunakan untuk serangan siber yang canggih, otomatisasi peretasan, hingga senjata otonom.
Sebuah laporan dari Departemen Luar Negeri AS bahkan memperingatkan bahwa AI berpotensi menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia, termasuk risiko serangan dunia maya yang melumpuhkan infrastruktur penting.
“Anda dapat menggunakan AI untuk membangun serangan siber yang sangat canggih, Anda dapat mengotomatiskan peretasan, Anda benar-benar dapat membuat sistem senjata otonom yang dapat menyebabkan kerusakan pada dunia,” kata Manoj Chaudhary, kepala teknologi di Jitterbit, sebuah perusahaan perangkat lunak AS.
Pemerintahan Biden sebelumnya telah meminta 15 perusahaan teknologi besar untuk meningkatkan keamanan AI, meski kesepakatan tersebut bersifat sukarela.
Beberapa negara bagian seperti New York juga menerapkan undang-undang AI. Seperti mengharuskan pemeriksaan independen untuk memastikan sistem perekrutan yang menggunakan AI bekerja dengan adil dan transparan.
Namun, masa depan kebijakan AI di negeri Paman Sam masih belum jelas. Andrew Strait khawatir penghapusan aturan Biden akan mengakhiri AI Safety Institute, lembaga penting yang didirikan untuk memantau risiko model AI canggih.
“Peraturan AI di AS yang bersifat tambal sulam sedang berkembang, namun sangat terfragmentasi dan tidak terlalu komprehensif,” kata Strait.
Peran Elon Musk
Elon Musk kemungkinan besar bakal mendorong regulasi mengenai AI yang lebih ketat. Musk akan memainkan peran penting di pemerintahan Trump usai ditunjuk memimpin Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE).
Musk telah lama memperingatkan bahaya AI yang tak terkontrol dan dapat menjadi ancaman eksistensial bagi manusia, meski begitu perusahaannya, xAI, kini juga tengah mengembangkan chatbot generatif.
“(Musk) sangat khawatir tentang risiko bencana AI. Ada kemungkinan hal itu akan menjadi pokok bahasan perintah eksekutif Trump di masa mendatang,” ujar Strait.
Namun suara dalam lingkaran Trump beragam. Wakil presiden terpilih JD Vance, misalnya, menilai bahwa regulasi dini dapat menghambat inovasi dan memperkuat dominasi perusahaan teknologi besar seperti Tesla.
(wnu/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA