Jakarta, CNN Indonesia —
Bagi saya, drama Korea slice of life itu membuat gamang untuk ditonton. Sebagian kisahnya terasa membosankan. Namun hal berbeda saya alami saat menyelami kehidupan IU menjadi Ae-sun dalam When Life Gives You Tangerines.
Penulis Lim Sang-choon membuat alur drama ini maju mundur dengan berbagai adegan dan kisah yang bikin saya, sebagai anak perempuan pertama yang sudah memiliki anak perempuan, merenung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lim Sang-choon membawa penonton untuk menyelami kehidupan masyarakat Pulau Jeju pada dekade ’50-an, ketika Korea Selatan tidak dikenal dunia, miskin, dan dilanda krisis ekonomi.
Namun hal dari drama ini yang mungkin akan relate dengan berbagai perempuan di luar Korea Selatan adalah bagaimana perempuan harus bertahan hidup di tengah masyarakat yang sangat patriarkis.
Meski begitu, drama ini bagai mengingatkan bahwa di tengah segala kesulitan yang membuat kehidupan terasa menyesakkan, tetap ada harapan-harapan kecil dan momen-momen sederhana yang sebenarnya patut disyukuri.
Review Drama When Life Gives You Tangerines: Lim Sang-choon sudah membuat pelupuk mata saya basah sejak awal dengan kisah Ae-sun. Mulai dari bergelut dengan kemiskinan, patriarki yang kental, ketimpangan kesempatan pendidikan untuk perempuan, hingga kehidupan setelah menikah yang tak jauh lebih baik. (dok. Baram Pictures/PAN Entertainment/Netflix via IMDb)
|
Lim Sang-choon sudah membuat pelupuk mata saya basah sejak awal dengan kisah Ae-sun. Mulai dari bergelut dengan kemiskinan, patriarki yang kental, ketimpangan kesempatan pendidikan untuk perempuan, hingga kehidupan setelah menikah yang tak jauh lebih baik.
Nurani saya sebagai seorang ibu tergugah ketika Lim Sang-choon dan sutradara Kim Won-seok mengisahkan pembelaan Ae-sun untuk putrinya atas larangan dari mertuanya sendiri. Mertuanya tak ingin sang cucu bisa naik sepeda atau menjadi Haenyeo, penyelam perempuan profesional yang berasal dari Pulau Jeju, Korea Selatan.
“Pokoknya aku mau dia mencoba segalanya,” bela Ae-Sun atas anaknya.
Pernyataan dari Ae-sun ini seolah cerminan pemikiran saya kepada gambaran putri saya di masa mendatang. Keresahan Ae-sun sebagai seorang ibu yang harus hidup dalam kemiskinan dan belenggu patriarki membuat saya merasa “dekat” dengan keresahan ini.
Serial ini juga menunjukkan betapa keras usaha Ae-sun dan Gwan-sik keluar dari kemiskinan. When Life Gives You Tangerines memperlihatkan bagaimana kemiskinan itu bersifat struktural, bukan karena seseorang tidak berusaha keras.
Dalam kasus di drama ini, Ae-sun dan Gwan-sik sudah sangat berusaha keras, tapi tetap terbelenggu dalam kemiskinan itu sendiri. Terlebih, budaya patriarki yang mengakar di Korsel membuat drakor ini semakin komplit penderitaannya.
[Gambas:Video CNN]
Namun di tengah usaha lepas dari kemiskinan dan nilai patriarki yang sangat kental di masyarakat, penulis naskah Lim Sang-choon berusaha menggambarkan Gwan-sik sebagai sosok laki-laki, suami dan ayah yang sempurna.
Hal itu terlihat dari getolnya Gwan-sik terhadap Ae-sun. Meski sudah dihempas berulang kali, Gwan-sik tetap nempel dengan Ae-sun. Ia juga satu visi dan misi dengan Ae-sun dalam membesarkan putri mereka: putri mereka tak boleh hidup miskin.
Lim Sang-choon tak berhenti menunjukkan ‘standar’ laki-laki yang berbendera hijau, yakni ketika Gwan-sik pasang badan ketika anak perempuannya, Geum-myeong, dihardik calon mertuanya karena dianggap tak memiliki kemampuan perempuan pada zaman itu.
![]() |
Kisah tersebut berhasil menyentuh saya dan mengingatkan, entah perempuan atau pun laki-laki, anak tetaplah harta yang paling berharga. Sudah sepatutnya orang tua, sebagai pihak yang paling dekat dengan anak, menjadi pemberi validasi pertama untuk anak.
Namun Lim Sang-choon juga menampilkan hubungan yang kompleks dan riil kala mengisahkan Ae-sun sebagai ibu dan Geum-myeong sebagai anak perempuan pertama, terutama soal besar harapan orang tua kepada anak mereka bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dari mereka.
Anak tengah Ae-sun dan Gwan-sik, Eun-myeong, juga tak lupa dikisahkan Lim Sang-choon. Eun-myeong yang dianggap nakal karena tak punya prestasi gemilang seperti kakaknya dan sering diomeli oleh Ae-sun, menjadi teguran dari Lim bahwa kenakalan anak sejatinya adalah cara mereka untuk sekadar mendapatkan perhatian dan kasih sayang.
Dengan berbagai cerita tersebut, When Life Gives You Tangerines menyajikan banyak percakapan soal kehidupan yang nyatanya berubah menjadi bahan kontemplasi diri sendiri. Dalam episode-episode terakhir, ada satu pernyataan yang cukup menjadi pengingat:
“Kami kurang memperhatikan ayah karena berpikir dia selalu akan ada”.
Seringkali kita menganggap orang-orang di sekitar kita akan selalu ada. Padahal akan ada hari mereka tidak ada lagi dan yang tersisa hanyalah memori yang bisa terhapus seiring waktu berjalan.
Saya sangat mengapresiasi IU dan Park Bogum yang chemistry sebagai pasangan sangat bagus. Terlebih, IU harus memerankan Ae-sun muda dan Yang Geum-myeong dewasa.
Drama ini bisa jadi medium untuk kembali melihat kehidupan yang sedang dijalani. Hubungan dengan pasangan, dengan orang tua, dengan anak, dengan diri sendiri. Meski sulit di tengah situasi dunia yang juga tak kalah pelik, pasti selalu ada sebutir berlian kehidupan yang tersembunyi yang bisa disyukuri.
(end)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA