Jakarta, CNN Indonesia —
Mecin atau micin seringkali dituding sebagai bahan masakan yang tak sehat untuk tubuh, dan bahkan memberi efek buruk buat kesehatan. Namun, fakta ilmiahnya bicara lain.
Menurut studi Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada 1995, micin atau monosodium glutamate (MSG) dianggap aman. MSG adalah garam natrium dari asam amino asam glutamat.
Studi dari FDA tersebut memang melaporkan beberapa kasus gejala ringan dan jangka pendek, seperti sakit kepala, muka memerah, atau kantuk. Itu terjadi ketika seseorang yang sensitif terhadap MSG mengonsumsinya dalam jumlah besar, sekitar 3 gram atau lebih, tanpa makanan.
“Namun, satu porsi makanan dengan tambahan MSG mengandung kurang dari 0,5 gram MSG. Mengonsumsi lebih dari 3 gram MSG tanpa makanan dalam satu waktu tidak mungkin dilakukan,” menurut FDA, dikutip dari LiveScience.
Sejarah citra buruk micin
Citra buruk yang telah lama melekat pada penambah rasa ini berakar pada sebuah surat lama, serangkaian penelitian yang buruk, dan histeria media pada tahun 1960-an dan lainnya.
Pada 1968, seorang dokter dari Maryland bernama Robert Ho Man Kwok menulis surat kepada New England Journal of Medicine yang menggambarkan gejalanya, mulai dari mati rasa, lemas, dan jantung berdebar-debar, setelah menyantap kuliner China Utara.
Dia menyebut sensasi tersebut sebagai “Sindrom Restoran China” dan menyebut tiga kemungkinan penyebabnya, yakni garam, arak, atau MSG.
MSG sendiri diisolasi dan dipatenkan oleh seorang ahli kimia Jepang bernama Kikunae Ikeda pada awal tahun 1900-an. MSG menjadi bahan tambahan yang umum digunakan dalam masakan Asia Timur melalui imperialisme Jepang.
Pada 1926, MSG masuk ke AS melalui dua jalur, yaitu restoran china dan makanan kaleng, seperti yang berasal dari Campbell’s Soup Company.
Pada saat surat Kwok ditulis, MSG merupakan bahan tambahan makanan yang hampir ada di mana-mana yang ditemukan di semua jenis makanan olahan, makanan kemasan, makanan yang disiapkan di restoran, dan bahkan merupakan bumbu rumah tangga.
Sejumlah dokter dan ilmuwan menanggapi surat Kwok yang menggambarkan versi mereka sendiri tentang Sindrom Restoran China, tetapi hanya ada sedikit tumpang tindih dalam hal gejala.
Namun, ada yang mengatakan bahwa seluruh pertukaran itu palsu, yang dimaksudkan sebagai lelucon oleh Howard Steel, seorang ahli bedah ortopedi yang bertaruh bahwa hal tersebut akan dipublikasikan di New England Journal of Medicine yang bergengsi.
Sayangnya, media tetap saja memberitakan hal ini, dengan menerbitkan berita utama seperti “Sindrom Restoran China Membingungkan Para Dokter” dan menstigmatisasi masakan China.
Pada awalnya, tidak ada bahan yang dipilih sebagai penyebab Sindrom Restoran China tersebut. Namun, antara tahun 1968 dan 1969, serangkaian penelitian yang tidak dilaksanakan dengan baik mencoba menetapkan Sindrom Restoran China sebagai kondisi medis yang disebabkan oleh MSG.
Sementara itu, uji coba awal yang menjadi dasar keburukan MSG sangat bias. Dalam penelitian tersebut, para peneliti memberikan sup pangsit kepada sukarelawan yang telah memiliki reaksi buruk terhadap makanan di restoran China untuk melihat apakah ada respons negatif.
Maka, tidak aneh jika mereka berhasil menemukan apa yang mereka cari.
Penelitian selanjutnya menguji efek kesehatan MSG pada tikus dan mengaitkan zat aditif tersebut dengan lesi otak dan obesitas. Dalam kasus ini, MSG disuntikkan di bawah kulit, bukan dicerna seperti yang terjadi pada manusia dan diberikan dalam dosis yang sangat tinggi.
Ketika para peneliti terus mempublikasikan penelitian yang salah dan menyesatkan, didorong oleh media yang mengamplifikasi temuan mereka, persepsi publik terhadap bahan ini menjadi semakin kuat.
Alhasil, orang-orang melihat MSG sebagai racun dan restoran China sebagai sumbernya.
Restoran China bahkan mulai menggantungkan tanda “Tanpa MSG” di jendela mereka. Produsen makanan menambahkan bahasa yang sama pada kemasan mereka.
Pendapat pakar
Fred Cohen, spesialis sakit kepala dan asisten profesor kedokteran dan neurologi di Icahn School of Medicine di Mount Sinai, New York menyebut sederet studi tersebut sangat ekstrem.
“Ketika Anda melihat uji coba tersebut, ini sangat ekstrem,” katanya yang baru-baru ini menerbitkan tinjauan tentang bukti-bukti yang menentang citra buruk MSG.
Dalam tinjauannya, tim Cohen menemukan bahwa meskipun MSG dapat menjadi pemicu potensial untuk sakit kepala, banyak penelitian yang menggunakan dosis MSG yang jauh lebih tinggi dari konsumsi normal.
Uji klinis melaporkan hasil yang bertentangan dan peran MSG dalam menyebabkan migrain masih belum jelas.
Menurut Cohen, ada berbagai bahan, seperti alkohol, produk susu, atau telur, yang secara luas dianggap aman, tetapi masih memicu sakit kepala pada beberapa orang.
Dikarenakan MSG dapat menjadi pemicu sakit kepala, membuat banyak orang mengira itu adalah pemicu sakit kepala, padahal tidak.
[Gambas:Video CNN]
(lom/arh)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA