Daftar Isi
Jakarta, CNN Indonesia —
Berbagai daerah, apalagi dataran tinggi, merasakan cuaca dingin pada malam hingga pagi hari. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memaparkan penyebabnya.
Suhu dingin itu salah satunya terlihat dalam bentuk fenomena embun beku (embun es) atau embun upas di Dieng, Jawa Tengah.
Kompleks Candi Arjuna, yang ada di Kawasan Wisata Dataran Tinggi (KWDT) Dieng, Kabupaten Banjarnegara, mengalami fenomena ini dalam tiga hari terakhir.
“Kebetulan tiga hari ini kembali beku setelah tiga minggu kemarin ada hujan,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengelola Objek Wisata Dieng Sri Utami di Banjarnegara, Minggu (14/7).
Berdasarkan hasil pengecekan, suhu udara di sekitar kompleks Candi Arjuna pada Minggu (14/7) pukul 05.30 WIB mencapai minus 1 derajat Celcius.
Di luar daerah pegunungan, suhu juga terpantau lebih dingin dari biasanya meski belum masuk kategori ekstrem. Bali contohnya.
Stasiun Meteorologi Ngurah Rai dan Stasiun Geofisika Denpasar mencatat suhu minimum 24,9 derajat Celsius pada 3 Juli; Stasiun Geofisika Denpasar mencatat suhu 23 derajat C pada 1 Juli.
Pada 7 dan 9 Juli, Pos Pengamatan di Karangasem merekam suhu 19 derajat C; dan pada 6 Juli, Stasiun BMKG Negara, Bali, mencatat suhu 21,4 derajat C.
Padahal BMKG, pada Prospek Cuaca Mingguan Periode 16–22 Juli, menyebut, “saat ini, wilayah Indonesia khususnya bagian selatan masih berada pada musim kemarau.”
“Sejak tiga hari terakhir, cuaca cerah mendominasi hampir di seluruh pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra bagian selatan, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan,” menurut lembaga tersebut.
Simak deret penyebab cuaca dingin di musim kemarau tersebut:
Bukan Aphelion
Berbagai unggahan di media sosial dan aplikasi percakapan banyak beredar pesan yang mengklaim fenomena suhu dingin ini dengan Aphelion atau titik terjauh Bumi dan Matahari.
Situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun melabeli unggahan semacam ini sebagai “hoaks.”
Fenomena Aphelion terjadi ketika Bumi berada di titik terjauh dari Matahari dalam satu putaran orbit. Ini karena orbit Bumi tidak sepenuhnya melingkar sempurna, tetapi berbentuk elips.
Kebalikan dari Aphelion adalah Perihelion, yakni titik terdekat Bumi terhadap Matahari yang biasanya terjadi awal Januari.
Observatorium Bosscha, dalam akun Instagram-nya, mengungkap fenomena Aphelion terjadi pada Jumat (5/7) pukul 12.06 WIB.
Melansir Time and Date, pada saat fenomena Aphelion tahun ini, jarak dari pusat Matahari ke pusat Bumi adalah 152.099.968 km. Saat Perihelion, Bumi berjarak 147.100.632 km dari Matahari.
Perbedaan jarak Bumi-Matahari pada Perihelion dan Aphelion adalah sekitar 5 juta km atau sekitar 3 persen jarak rata-rata Matahari-Bumi.
“Perbedaan jarak tersebut akan membuat ukuran ketampakan Matahari sedikit mengecil/membesar, hanya sekitar 3 persen saja,” menurut keterangan Bosscha.
“Perlu diketahui, hal ini (aphelion dan periohelion) tidak akan memberikan efek apapun yang signifikan pada suhu permukaan Bumi.”
Senada, BMKG, dalam keterangan di situsnya, menyebut fenomena tersebut “tidak berpengaruh banyak pada fenomena atmosfer atau cuaca di permukaan Bumi.”
Faktor awan
BMKG menuturkan fenomena suhu udara dingin sebetulnya merupakan fenomena alami yang umum terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau (Juli–September).
Saat kemarau, angin yang dominan dari arah timur membawa massa udara kering dan dingin dari daratan Australia ke Indonesia. Hal ini tak mendukung pertumbuhan awan hingga menyebabkan langit menjadi cerah sepanjang hari.
“Kurangnya tutupan awan pada malam hari menyebabkan radiasi panas dari permukaan Bumi terpancar ke atmosfer tanpa ada hambatan, mengakibatkan penurunan suhu yang signifikan,” jelas BMKG.
Ketua Tim Meteorologi BMKG Juanda, Jatim, Shanas Prayuda menambahkan fenomena ini kerap disebut sebagai bediding di musim kemarau.
“Kondisi tersebut menyebabkan radiasi Matahari yang diterima Bumi lebih besar sehingga suhu udara meningkat drastis di siang hari,” terangnya.
“Sehingga panas Bumi dilepaskan Kembali ke atmosfer dengan cepat sehingga udara menjadi lebih dingin,” jelas dia.
Faktor angin
BMKG menyebut faktor lain yang mendukung udara dingin itu adalah angin yang tenang di malam hari yang menghambat pencampuran udara.
“Sehingga udara dingin terperangkap di permukaan Bumi,” jelas lembaga.
BMKG menyebut daerah dataran tinggi atau pegunungan cenderung lebih dingin karena tekanan udara dan kelembaban yang lebih rendah. Ini membuat beberapa wilayah pegunungan seperti Dieng mengalami fenomena embun es (embun upas) yang dikira salju.
“Kondisi dingin ini merupakan fenomena umum yang umum terjadi di Indonesia saat musim kemarau,” kata BMKG.
Koordinator Bidang Data dan Informasi BMKG Wilayah lll Denpasar I Nyoman Gede Wiryajaya menambahkan faktor angin monsun Australia yang datang dari Benua Australia yang sedang mengalami musim dingin.
Udara kutub yang dingin berhembus ke arah Australia dan membentuk sel-sel tekanan tinggi (Suhu dingin memicu tekanan udara tinggi, dan sebaliknya. Udara mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah).
Massa udara polar yang bersifat dingin dan kering turut terbawa dalam perjalanan monsun Australia saat melewati wilayah Bali.
Sel-sel tekanan tinggi yang terbentuk di Benua Australia tersebut menimbulkan terjadinya perbedaan atau gradient tekanan yang signifikan dibandingkan dengan daerah di sekitarnya.
Hasilnya, peningkatan kecepatan aliran yang dirasakan sebagai peningkatan kecepatan angin atau angin kencang.
“Angin yang bersifat kering, dingin, dan memiliki kecepatan yang lebih tinggi tersebut, mengakibatkan proses pendinginan permukaan Bumi khususnya pada malam dini hari berlangsung cepat,” katanya.
“Sehingga terjadi penurunan suhu permukaan yang signifikan dan terasa sebagai suhu dingin,” tambah Nyoman.
Peredaran semu Matahari
Nyoman juga mengungkit pula faktor peredaran semu Matahari.
Sejak 21 Juni, posisi semu tahunan Matahari berada di titik balik utara, yakni 23,5 derajat lintang utara. Hal ini menyebabkan belahan Bumi utara (BBU) mengalami musim panas sedangkan belahan Bumi selatan (BBS) mengalami musim dingin.
Hal ini menyebabkan belahan Bumi selatan, termasuk bagian selatan khatulistiwa, defisit sinar Matahari.
Di saat yang sama, permukaan Bumi memerlukan waktu untuk melepaskan energi panas yang diterima dan diserapnya saat mengalami surplus penyinaran Matahari.
Oleh karena itu, jelas Nyoman, suhu udara minimum terendah terjadi setelah Juli dan Agustus.
“Penyebab utamanya adalah gerak semu tahunan matahari yang mengakibatkan terjadinya monsun Australia dan berdampak pada parameter cuaca lainnya termasuk suhu udara,” tutur Nyoman.
[Gambas:Video CNN]
(tim/arh)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA