Jakarta, CNN Indonesia —
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terakhir di Inggris, Ratcliffe-on-Soar di Nottinghamshire, akhirnya resmi berhenti beroperasi. Ini menjadikan Inggris sebagai negara G7 pertama yang mengakhiri produksi listrik dari batu bara.
Penghentian operasi PLTU batu bara ini sejalan dengan kebijakan pemerintah Inggris untuk menyetop penggunaan tenaga batu bara yang telah dicanangkan hampir satu dekade lalu.
Penutupan ini menandai berakhirnya 142 tahun sejarah penggunaan batu bara di Inggris yang dimulai ketika pembangkit listrik tenaga batu bara pertama di dunia, PLTU Holborn Viaduct pada 1882.
Penghentian PLTU terakhir di Inggris ini mendapat sambutan positif dari sejumlah pihak, termasuk para aktivis lingkungan yang menyebutnya sebagai pencapaian besar bagi pemerintah dalam mengurangi emisi karbon Inggris.
“Penutupan Ratcliffe hari ini menandai berakhirnya sebuah era dan para pekerja batu bara dapat merasa bangga dengan pekerjaan mereka yang telah memberi daya pada negara kita selama lebih dari 140 tahun. Kita berhutang budi kepada beberapa generasi sebagai sebuah negara,” kata Michael Shanks, Menteri Energi Inggris, mengutip The Guardian, Selasa (1/10).
Lalu, apa dampak penyetopan operasi PLTU batu bara ini untuk lingkungan?
Masschusetts Institute of Technology (MIT), dalam laman resminya, menyebut bahwa menutup pembangkit listrik tenaga batu bara adalah cara terbaik untuk mengurangi emisi dari jaringan listrik dengan cepat.
Selama ini, berbagai studi mengungkap bahwa pembakaran batu bara dapat menghasilkan polusi udara dan partikel halus yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Penutupan PLTU ini otomatis akan meningkatkan kualitas udara dan mengurangi risiko penyakit pernapasan.
Selain itu, PLTU batu bara adalah salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca. Dengan penghentian operasi PLTU batu bara ini, diprediksi emisi gas rumah kaca bakal berkurang secara drastis.
Selama lebih dari 100 tahun, dan hingga tahun 1990, batu bara merupakan bagian terbesar dari listrik yang dihasilkan di Inggris.
Sejak saat itu, Inggris telah mengalami dua gelombang besar pengurangan batu bara. Gelombang pertama terjadi pada tahun 1990-an, ketika batu bara berkurang dari sekitar 65 persen pasokan listrik menjadi sekitar 35 persen, dan terjadi serangkaian penutupan tambang di seluruh negeri.
Joel Jaeger, peneliti senior di World Resources Institute, mengatakan batu bara sebagian besar digantikan oleh gas alam, yang semakin banyak tersedia dan mengalahkan batu bara dalam hal keekonomian.
Kemudian, sekitar satu dekade yang lalu, muncul gelombang kedua penghentian penggunaan batu bara. Hal ini didorong oleh kebijakan Uni Eropa -ketika Inggris menjadi anggotanya pada saat itu- menetapkan harga karbon, dan Inggris menerapkan harga yang lebih tinggi lagi pada tahun 2013.
Menurut Jaeger hal ini membuat batu bara menjadi pilihan yang kurang ekonomis, kata Jaeger. Pada tahun 2010-an, energi terbarukan, sebagian besar angin dan bioenergi, dengan cepat ditingkatkan untuk menggantikan sebagian besar infrastruktur batu bara yang tersisa.
Bukan tanpa masalah
Sumber energi terbarukan seperti angin dan Matahari jadi andalan dalam transisi menuju zero emisi. Sumber energi terbarukan tidak menghasilkan gas rumah kaca, sehingga semakin banyak sumber energi terbarukan menggantikan bahan bakar fosil seperti batu bara dan gas, maka semakin dekat pula dengan target zero emisi.
Porsi energi yang berasal dari energi terbarukan terus meningkat. Menurut laporan Badan Energi Internasional yang terbit pada Januari 2024, energi terbarukan akan menghasilkan 33,5 persen listrik global tahun ini dan dapat mencapai 41,6 persen pada tahun 2028.
Namun, penggunaan energi terbarukan memiliki tantangan tersendiri bagi jaringan listrik. Pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas dapat dinyalakan dan dimatikan sesuka hati, sehingga dapat memasok lebih banyak energi saat dibutuhkan: mereka “dapat dikirim”, dalam jargon di lapangan.
Sebaliknya, sumber energi terbarukan bersifat intermiten dan kurang dapat dikontrol: Matahari tidak bersinar di malam hari dan angin tidak selalu berhembus, dan terkadang bisa berhembus terlalu kencang.
“Dengan energi terbarukan, kami memiliki lebih sedikit daya yang dapat disalurkan,” kata Grazia Todeschini, seorang insinyur listrik di King’s College London di Inggris, mengutip BBC.
Sampai batas tertentu, masalah intermitensi dapat dikelola dengan memiliki beragam pilihan sumber energi terbarukan: dengan begitu, jika salah satu sumber energi tidak menghasilkan cukup, sumber energi lainnya dapat mengisi kekosongan. Tenaga nuklir, yang nol-karbon, juga menawarkan pasokan yang stabil.
Di samping itu, banyak negara yang berinvestasi besar-besaran dalam penyimpanan energi. Ketika banyak listrik yang dihasilkan namun tidak dibutuhkan, listrik tersebut dapat disimpan – kemudian ketika ada kekurangan, listrik tersebut dapat dilepaskan.
“Poin utamanya adalah untuk dapat mencocokkan antara produksi dan permintaan,” kata Todeschini.
(dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA